Muda Banyak Gaya, Tua Dak Inga

Muda Banyak Gaya, Tua Dak Inga

Ahmadi Sofyan - Penulis Buku /Pemerhati Sosial Budaya--

Namun nyata kian hari harga sebuah sumpah kian murah saat kepentingan politik dan kekuasaan yang berbicara. Harga sebuah sumpah kian tak berharga ketika sumpah berseliweran bak sampah yang mengotori map-map pelantikan sebuah jabatan.

Karena ketika pelantikan usai, sumpah tak lagi berarti bahkan secuil kalimat sumpah tak perlu untuk diingat apalagi untuk diikuti.

Sumpah pada awalnya adalah kata-kata sakral yang “menakutkan” untuk meyakinkan sebuah kebenaran. Karena tidak semua orang yang berani bahkan harus berpikir panjang untuk melakukan pengucapan sumpah.

Sumpah juga bermakna kesetiaan sebagaimana sumpah kita dalam ijab qabul di depan penghulu. Sumpah juga bagian yang begitu melekat dalam prosesi pelantikan pejabat-pejabat negara agar setia menjadi pelayan rakyat dan tidak melakukan hal-hal yang merugikan negara atau rakyat apalagi menerima sesuatu yang bukan hak-nya.

Sekali lagi sampai hari ini yang demikian itu hanya prosesi formalitas saja yang tak melekat dalam pribadi pengucapnya. Bahkan Presiden, Wakil Presiden dan 34 Menteri-nya plus Wakil Menteri, pun demikian adanya.

Sumpah-sumpah seperti ini terus kita nantikan kesaktiannya walaupun kita sudah sangat menyadari bahwa menunggunya bagaikan pungguk merindukan bulan yang tak kian datang ke pangkuan.

Sinergi Orangtua & Pemuda

Di egeri ini, saya merasa tidak banyak bertemu dan berdiskusi dengan para orangtua yang mampu memberikan semangat dan motivasi kepada generasi muda.

api sangat sering saya berhadapan dengan banyak orangtua yang hobi bercerita tentang jasa dan kehebatan masa lalunya tapi sayangnya cerita itu dengan meremehkan dan menjelekkan orangtua yang lain.

Ibarat kata mengangkat diri dengan merendahkan diri orang lain. Inilah kerapkali saya katakan bahwa di negeri ini terlalu banyak orangtua yang bersikap “dak inga” (tidak senonoh/tidak bijak) ketika berhadapan dengan generasi muda sehingga mereka tidak mendapatkan “penghormatan” dari generasi setelahnya. 

“Ikak ne tau ape, kami ne lebih tau”, “Ikak ne lom apelah, kami ne lah……………”, “Mun dak de kami ne duluk e dak ape jadilah”, “Kamilah yang mulai e, die tu yang punya name”, “Ko ne tau sape die tu, luar dalam ko tau” dan seterusnya ucapan-ucapan yang kerapkali saya dengar menohok dari mulut para orangtua dihadapan generasi muda di negeri ini.

Mirisnya, mereka-mereka itu adalah para tokoh yang mulia di negeri ini. Tapi disisi lain itu tidak semuanya, karena ada pula orangtua yang bijak dan selalu berbicara positif dengan memberikan motivasi berarti bagi generasi muda.

Tidak banyak pula di negeri ini saya bertemu dengan anak-anak muda yang saling mendukung, saling memberi semangat, saling berkerjasaama, tawadhu’ dalam keilmuan serta mampu menghormati dan menghargai jasa para orangtua dengan memuliakan mereka.

Tapi kerapkali kita melihat bahkan mungkin didalamnya adalah saya sendiri dan Anda, bahwa generasi muda kita lebih mengutamakan ego masing-masing, belajar menjatuhkan kawan dengan menepuk air di dulang terpercik muka sendiri, memperbesar perbedaan mengecilkan persamaan, iri dengki ketika ada kawan yang berprestasi, mudah di adu domba tapi tak mau disebut domba, gampang “dibeli” dengan mengorbankan harga diri, kritis untuk mendapatkan lembaran uang dan popularitas, setelah “dbeli” sang pembeli adalah juragan, belajar menjilat dengan ilmu perkeliruan. Sekali lagi, saya dan Anda mungkin saja ada didalamnya.

Nah, penilaian saya pribadi ini bisa benar dan sangat mungkin (semoga) salah. Namun apapun keadaan perilaku sosial negeri kita, tetap harus kita cintai dengan mulai memperbaiki diri dari mulai diri sendiri!. 28 OKTOBER 2022, selamat memperingati Hari Sumpah Pemuda ke-94.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: