Muda Banyak Gaya, Tua Dak Inga

Muda Banyak Gaya, Tua Dak Inga

Ahmadi Sofyan - Penulis Buku /Pemerhati Sosial Budaya--

Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya

TAK ada yang lebih “meringemkan” dalam kehidupan sosial, ketika yang muda banyak gaya, yang tua dak inga”.

Semua lini dalam kehidupan membutuhkan keseimbangan. Malam harus memberikan kesempatan kepada siang, matahari tak boleh ingkar janji dengan sang rembulan, bumi harus menyadari posisi dibawah dan langit tak boleh sombong selalu berada diatas. Dengan keseimbangan maka kehidupan akan berjalan sebagaimana mestinya, saling asih, asah dan asuh, bukan gasak, gesek dan gosok.

Mesin pun bisa berjalan dengan baik ketika seluruh komponen alat didalamnya berjalan seimbang, tak ada yang merasa lebih penting dengan yang lainnya. Musim dan cuaca pun hendaknya seperti itu, karena ketika hujan berlebihan, daya tampung air tak memungkinkan (tidak ada keseimbangan), maka bencana banjir serta longsor tak dapat dihindari.

Begitupula dalam tatanan kenegaraan dan kehidupan sosial kita. Kaum pria menjadi pemimpin terdepan dan kaum wanita menjadi pendidik para calon pemimpin (anak-anak) atau pemimpin di garis belakang, orang kaya berperilaku mulia dengan membantu orang miskin dan orang miskin jangan menjadi kaum peminta, yang tua menyayangi yang muda dan yang muda pun menghormati orangtua. 

Dalam tatanan kenegaraan pun demikian adanya. Eksekutif, Legeslatif dan Yudikatif berjalan seimbang dan saling memberikan dukungan positif dan bukan saling mengincar kesalahan. Ketika ketiganya tidak berjalan seimbang, maka pembangunan dan tatanan birokrasi sebuah daerah akan berjalan pincang.

Yudikatif jangan masang perangkap karena ingin menangkap, menzholimi demi dianggap prestasi. Legeslatif hendaknya pro aktif, bukan sekedar mencari proyek dan tip. Eksekutif hendaknya kreatif membangun daerah bukan sekedar mengejar pencitraan atau membuat kegiatan “dak keruan jatak” tapi dianggap sebuah prestasi. 

Persoalan di negeri ini yang kian buruk baik dalam tatanan sosial, politik, ekonomi dan birokrasi (pemerintahan) salah satu penyebabnya adalah tidak adanya KESEIMBANGAN. Setiap elemen merasa lebih penting dari elemen yang lain, setiap lembaga merasa lebih berkuasa dari lembaga yang lain, setiap Kepala Daerah merasa lebih hebat dari Kepala Daerah yang lain, setiap organisasi merasa lebih bertaring dari organisasi yang lain. Keseimbangan dalam kehidupan menjadi sangat penting dan membutuhkan kerjasama dari individu yang berperilaku dewasa dan bertindak bijaksana. 

Ketika Sumpah Menjadi Sampah

Bulan Oktober, merupakan bulan sumpah yang paling penting yakni SUMPAH PEMUDA yang tercetus pada Kongres Pemuda II di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928. sejak 94 TAHUN silam, makna yang mendalam dari ikrar Sumpah Pemuda nampaknya bukan sekedar spirit persatuan berbangsa dan bernegara, tapi juga kian relevan untuk kita maknai lebih mendalam ditengah maraknya sumpah serapah jalanan hingga sumpah jabatan yang menjadi sampah.

Dari jalanan hingga arena persidangan dan panggung politik, kalimat-kalimat bernada sumpah seakan menguatkan sebuah pengakuan. Karena sekarang ini, hampir setiap hari ada ucapan sumpah.

Entah itu sumpah jabatan, sumpah politik, sumpah cinta dua orang anak manusia, sumpah kesaksian di pengadilan, sumpah Mubahalah (kutukan), sumpah orangtua hingga sumpah serapah di jalanan, terutama ditengah kemacetan dan demonstran di Ibukota Jakarta yang kian menjadi.

Makna sumpah pada awal pendirian bangsa dimaksudkan sebagai penyemangat dan ikrar bersama untuk berjuang dan mempersatukan negeri ini. Sumpah Pemuda memiliki kekuatan yang dahsyat untuk menggerakkan anak muda dalam membangun bangsa. Namun kini berbagai sumpah tak lebih sebagai tameng untuk melindungi diri dari kenyataan atau sekedar lips service only atau pemanis bibir saja disaat pelantikan. 

Tentu masih sangat segar dalam ingatan kita bagaimana semaraknya sumpah yang berseliweran dalam Pemilu, Pilkada, bahkan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Makna sumpah yang begitu sakral karena bisa menyangkut semua elemen makhluk dan Tuhan, yakni antar manusia (pengucap sumpah) dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: