Menambang Masa Depan: Kolaborasi Hukum dan Pendidikan Dalam Penegakan Hukum Pertambangan

Menambang Masa Depan: Kolaborasi Hukum dan Pendidikan Dalam Penegakan Hukum Pertambangan

Yulistia Akbari --Foto: ist

Oleh: Yulistia Akbari, S.H

Mahasiswa Magister Hukum Universitas Bangka Belitung

Guru Pendidikan Pancasila MAN 1 Pangkalpinang

___________________________________________

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu daerah penghasil timah terbesar di Indonesia. Potensi sumber daya mineral ini menjadikan sektor pertambangan sebagai tulang punggung ekonomi daerah. Namun, di balik geliat ekonomi yang dihasilkan, sektor ini juga menyimpan berbagai persoalan hukum yang kompleks, terutama terkait pertambangan ilegal (illegal mining).

Sejumlah kasus pidana pertambangan timah ilegal terjadi sepanjang tahun 2024–2025 di Bangka Belitung. Pada Mei 2024, aparat menggerebek tambang ilegal di Bangka Selatan, menyita pasir timah senilai Rp 1,2 miliar dan menahan tiga pelaku. Di sisi lain, lima kasus tambang ilegal terungkap di Belitung Timur pada Juli 2024, melibatkan 15 tersangka dan alat berat. 

Ironisnya, penegakan hukum ini sebagian besar hanya menyentuh pelaku lapangan, bukan aktor intelektual atau korporasi besar yang berdiri di belakangnya. Kondisi ini memperlihatkan bahwa hukum sering kali tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Pembiaran yang terstruktur dan lemahnya pengawasan memperparah situasi.

Selain itu, kerusakan lingkungan akibat pertambangan tanpa izin berdampak serius pada ekosistem lokal, seperti pencemaran sungai, degradasi tanah, dan rusaknya habitat satwa endemik. Ironisnya, aktivitas ini kerap berlangsung secara terang-terangan dan terkesan “dibiarkan”. Hal ini menimbulkan kecurigaan adanya pembiaran sistemik atau bahkan keterlibatan oknum-oknum dari aparat penegak hukum maupun pejabat pemerintah daerah. 

Secara normatif, Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang memadai untuk menangani pelanggaran di bidang pertambangan, seperti: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun dalam praktiknya, implementasi hukum ini menghadapi berbagai hambatan, antara lain: (1) Kurangnya integritas aparat penegak hukum; (2) Intervensi politik dan kepentingan ekonomi; (3) Tumpang tindih kewenangan antar lembaga; (4) Minimnya pengawasan di lapangan. 

BACA JUGA:Cyber Crime: Teknologi Senjata Kejahatan

BACA JUGA:Royalti Timah: Siapa Sebenarnya yang Kegirangan?

Hukum seharusnya berfungsi sebagai alat untuk memberikan efek jera dan perlindungan terhadap lingkungan. Namun, masih banyak ditemui kasus pidana pertambangan yang terjadi di Bangka Belitung.  Dalam praktiknya, banyak kasus yang tidak menyentuh aktor intelektual atau korporasi besar. Penambang kecil sering dijadikan kambing hitam, sementara aktor utama tetap leluasa beroperasi. Beberapa kasus yang sudah ditindak pun sering kali hanya menyasar pelaku lapangan, sementara aktor intelektual di baliknya sulit disentuh hukum. Masyarakat lokal sering kali terlibat dalam kegiatan tambang ilegal karena keterbatasan lapangan kerja dan rendahnya tingkat kesejahteraan. Pertambangan dianggap sebagai jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Di sisi lain, mereka tidak memiliki akses legal untuk menambang, karena izin usaha pertambangan (IUP) lebih mudah diperoleh oleh korporasi besar. Hal ini menciptakan ketimpangan dan rasa ketidakadilan, serta memperkuat siklus pelanggaran hukum karena masyarakat merasa tidak memiliki pilihan lain. 

Beberapa langkah telah diupayakan oleh pemerintah daerah maupun pusat untuk membenahi sektor pertambangan di Babel, seperti: Penertiban tambang ilegal; Penguatan pengawasan melalui sinergi antar lembaga; Penyederhanaan dan transparansi pemberian IUP; dan Edukasi dan pendampingan hukum bagi masyarakat. Namun untuk mewujudkan efektivitas dalam pelaksanaannya masih membutuhkan komitmen kuat, khususnya dalam reformasi kelembagaan dan pemberantasan korupsi. Realitas hukum pidana pertambangan di Bangka Belitung memperlihatkan kesenjangan antara aturan hukum yang ideal dengan praktik di lapangan. 

Di tengah lemahnya penegakan hukum, pendidikan menjadi benteng terakhir yang mampu membentuk kesadaran generasi masa depan. Sayangnya, anak-anak di desa tambang tumbuh dalam lingkungan yang menganggap aktivitas ilegal sebagai hal wajar. Pertambangan dianggap sebagai jalan ekonomi satu-satunya, bukan sebagai praktik yang harus diatur dan diawasi. Ini bukan hanya krisis hukum, melainkan krisis nilai. Pendidikan harus hadir untuk memutus rantai normalisasi kejahatan lingkungan dan mewujudkan suatu penegakan hukum.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: