Cyber Crime: Teknologi Senjata Kejahatan

Cyber Crime: Teknologi Senjata Kejahatan

Tessya Safita --Foto: ist

Oleh: Tessya Safita

Mahasiswa Magister Hukum Universitas Bangka Belitung

___________________________________________

Indonesia sebagai negara dengan populasi penduduk tinggi memiliki tingkat ancaman kriminalitas yang tinggi pula. Seiring berjalannya era globalisasi, kriminalitas bukan hanya berasal dari dunia nyata, tetapi juga lahir sebagai jelmaan dari teknologi dan informasi yang disalahgunakan. Teknologi informasi yang seharusnya menjadi peluru kemajuan suatu bangsa, kini justru membawa puing-puing ancaman yang lebih kejam dari penjajahan. Kriminalitas yang dikenal sebagai kejahatan bukan hanya bersumber dari perilaku manusia yang dilakukan di dunia nyata, namun juga kejahatan bisa terjadi melalui media elektronik (dunia maya), yang sering kita sebut dengan istilah Cyber Crime.

Cyber Crime menurut para ahli hukum di definisikan sebagai kegiatan seseorang, sekelompok orang, batau adan hukum yang memakai komputer atau media elektronik lainnya sebagai fasilitas untuk melakukan kejahatan dan memiliki sasaran (target) yang akan dirugikan. Cyber Crime tidak serta merta lahir begitu saja, melainkan dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Faktor utama seseorang melakukan Cyber Crime ialah untuk memperoleh keuntungan, baik berupa data, uang, hingga motif-motif yang bertujuan untuk menjatuhkan pihak lain. Cyber Crime sebagai tindakan criminal juga dapat dikatakan sebagai senjata kriminalitas, dimana kejahatan yang bisa dilihat secara langsung dengan alat dan bukti yang nyata kini bisa dialihkan ke dalam bentuk virtual. Cyber Crime pada Tingkat tinggi biasanya bukan hanya menimbulkan kerugian materil, namun juga dapat mengancam nyawa seseorang.

Cyber Crime adalah jenis kejahatan kontemporer yang memanfaatkan kecanggihan teknologi komputer dan internet sebagai senjata utama untuk melakukan tindakan ilegal seperti pencurian data, penipuan, dan sabotase sistem vital. Kejahatan ini bersifat global, sulit dideteksi, dan dapat menyebabkan kerugian besar kepada individu, organisasi, dan negara karena penyebarannya yang cepat. Fenomena ini menunjukkan sisi buruk kemajuan teknologi, dimana alat yang seharusnya memudahkan kehidupan menjadi alat kejahatan yang kuat tanpa literasi digital dan perangkat hukum yang cukup.

BACA JUGA:TPP ASN: Kebutuhan Ekonomi Tambahan atau Gaya Hidup ASN?

BACA JUGA:Royalti Timah untuk TPP ASN: Pengkhianatan Seperempat Abad Perjuangan Bangka Belitung

Cyber Crime secara konseptual bukanlah hal yang bisa dilakukan oleh orang awam. Perlu keahlian tinggi terkait ilmu teknologi dan informasi untuk menciptakan suatu motif atau teknik dalam melakukan kejahatan. Oleh karena itu, pelaku Cyber Crime biasanya adalah orang-orang dengan keahlian khusus, dan sudah pasti berpengalaman di bidang teknologi informasi. Di Indonesia sendiri, Cyber Crime belum menjadi perhatian khusus penegakan hukum karena proses pembuktian dan identifikasi kesalahan pelaku berbeda dengan kriminalitas di dunia nyata. Hal ini dikarenakan pelaku Cyber Crime biasanya bersifat anonim atau tidak diketahui identitasnya. 

Cyber Crime lahir sebagai teknologi senjata kejahatan. Kejahatan yang dilakukan pun beragam jenisnya, mulai dari peretas (hacker), perusak sistem keamanan data (cracker), pembobolan kartu (carder), menyusup dan mengganti tampilan situs dengan maksud tertentu (deface), hingga phreaker yang mengganggu jaringan telepon. Selain itu, masih banyak jenis Cyber Crime lain yang membahayakan para pengguna internet. Kerugian yang ditimbulkan pun beragam, mulai dari kerugian materil sampai dengan kerugian imateril. Namun, para korban Cyber Crime dapat menuntut pelaku atas kerugian yang ditimbulkan.

Indonesia belum secara spesifik mengatur mengenai Cyber Crime. Namun, pelaku Cyber Crime dapat dijerat oleh beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain melalui Undang-undang Nomor 36 tentang 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme, serta Undang-undang Noomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

UU ITE dan KUHP baru (Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023) telah memperkuat pengaturan Cyber Crime sebagai teknologi senjata kejahatan, memberikan kerangka hukum yang lebih jelas, tegas, dan sanksi berat untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku. Meskipun demikian, penegakan hukum belum sepenuhnya berhasil karena masih ada masalah besar yang dihadapi, seperti kekurangan sumber daya manusia, fasilitas pendukung, dan anggaran. Agar regulasi ini dapat menangani ancaman Cyber Crime yang semakin kompleks dan lintas batas, diperlukan peningkatan kapasitas aparat, teknologi forensik digital, dan kerja sama internasional.

Cyber Crime sebagai teknologi senjata kejahatan dapat terus berkembang pesat apabila tidak menjadi perhatian pemerintah dan penegakan hukum. Hal ini dikarenakan segala aspek kehidupan kini berkembang pesat yang semula menggunakan teknologi tradisional kini beralih ke teknologi yang lebih modern. Apabila modernisasi ini tidak diiringi dengan kualitas sumber daya manusia yang memadai, maka di kemudian hari teknologi akan melebihi kapasitas kemampuan manusia, serta akan memberikan ancaman yang lebih besar terhadap peradaban manusia. 

BACA JUGA:Revitalisasi Desa melalui Koperasi Merah Putih, Visi Bung Hatta dalam Wajah Baru

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: