MAHAR POLITIK DI PILKADA ; ANCAMAN BAGI DEMOKRASI

MAHAR POLITIK DI PILKADA ; ANCAMAN BAGI DEMOKRASI

Saifuddin --Foto: ist

BACA JUGA:CARA (KITA) MEMBUNUH DEMOKRASI

BACA JUGA:REFORMASI, & PENGHINATAN KAUM INTELEKTUAL

Sebagai implikasi dari sistem Pilkada langsung berdasarkan suara mayoritas, hal ini cukup menjelaskan bahwa ongkos politik dalam sistem demokrasi saat ini begitu mahal. Berdasarkan penelitian FITRA, anggaran yang dikeluarkan dalam pilkada kabupaten berkisar 5-28 miliar, sedangkan pilkada provinsi kisaran 60-78 miliar. Nilai yang begitu besar tersebut tidaklah sebanding dengan pendapatan resmi yang akan diterima oleh gubernur misalnya, yang hanya memperoleh gaji Rp 8,6 juta/bulan atau total 516 juta selama lima tahun menjabat. 

Inilah hal-hal yang dapat memicu korupsi dan koalisi (pemufakatan jahat) menjadi cara untuk mengeruk pundi-pundi kesejahteraan rakyat. Dengan modal awal yang cukup besar, orientasi dari kekuasaan yang dimiliki nantinya adalah bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan sebelumnya. Catatan Kementerian Dalam Negeri hingga tahun 2016 menunjukan bahwa terdapat 343 bupati/walikota dan 18 gubernur yang tersandung kasus korupsi. 

Tentu ini adalah catatan buruk proses demokrasi yang sedang kita jalani, karena sesungguhnya kita berharap proses demokrasi bukan hanya bersifat prosedural melainkan mencakup demokrasi yang substansial. Dan itu salah satunya dapat dilihat dari berjalannya keadilan dari proses pencalonan hingga keterpilihan calon dengan proses yang tidak mencederai nilai-nilai demokrasi. Tetapi praktek “dagang sapi” di balik atas nama demokrasi adalah praktek busuk yang melukai dan merusak demokrasi. Yang pada akhirnya berujung pada perilaku korupsi demi mengembalikan mahar politik. Seorang pemikir politik Theodore Putih---berkata “banjir uang yang mengalir dalam politik adalah merusak demokrasi”.

Undang-Undang Parpol yang memberikan kewenangan kepada parpol untuk merekrut calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta calon anggota legislatif seakan melegitimasi “politik uang” atau “mahar politik” itu. Kalimat merekrut bukan berarti bahwa partai ; politik melegalkan praktek “mahar politik”, tetapi dengan mekanisme partai yang ada tentu perkara merekrut harus disesuaikan dengan etika dan undang-undang yang ada. Etika politik, tentu bicara soal wajar atau tidak wajarnya seseorang kandidat kepala daerah untuk di promosikan sebagai calon kepala daerah atau tidak, jangan karena lantaran banyak uang lalu partai politik “tergiur” untuk melamarnya dengan alasan mumpung punya duit banyak. Pragmatisme sulit terhindarkan kalau kondisi parpol masih terjebak pada budaya politik transakisonal.

BACA JUGA:Pilkada Bangka Semakin 'Manis'

BACA JUGA:MODIFIKASI SISTEM TATA KELOLA SAMPAH, DEMI PANGKALPINANG YANG BERSIH, ASRI, DAN TERJAGA

Fenomena tersebut membuka ruang lebar untuk terjadinya tindakan korupsi bagi kepala daerah setelah ia terpilih dengan dalih “politik kembali modal”. Dengan melihat perbandingan dana kampanye bagi Bupati dan walikota di kisaran 10-30 M, Gubernur 40-100 M bahkan ada yang lebih dari itu, sementara gaji kepala daerah dalam satu periode hanya bisa mencapai 3-5 M. Artinya pengeluaran tidak sesuai dengan pemasukan. Maka ini akan membuka praktek korupsi bagi kepala daerah yang terpilih. Seharusnya proses politik yang demokratis---minimal menepis tindakan koruptif dan mencegah politik transaksional. Ini tidak mudah dengan melihat gejala politik yang semakin “binal” ditengah demokrasi yang semakin rusak. 

Karena itu kualitas calon pemimpin kita pun hanya bisa ditakar secara materi. Karena itu “mahar politik” ini telah menjadi penyakit akut yang merusak ziarah dan perjalanan tatanan demokrasi bangsa. Artinya bahwa hanya orang berduit yang memiliki peluang dalam memimpin negeri ini. Kendatipun ada peluang pencalonan non partai tetapi persyaratan tak sedikit. Akhirnya kita abaikan aspek-aspek keutamaan yang harus dimiliki seorang pemimpin atau pun calon pemimpin dalam bursa pencalonan. Demokrasi dalam sejarahnya tak pernah dibangun dari “materi” seperti “uang” dalam politik demokrasi liberal sekarang ini. Menempuh jalan deparpolitisasi melalui jalur independen juga tidak mudah dan cendrung berbiaya mahal. 

Dalam tradisi Yunani kuno menyebut keutamaan sebagai arete. Artinya kualitas kecenderungan positif di dalam diri seseorang untuk berkehendak dan berbuat baik sesuai dengan keutamaan itu. Dalam tradisi Barat selanjutnya membedakan empat keutamaan pokok, yakni kearifan, pengendalian diri, keadilan, dan keberanian. Keutamaan-keutamaan inilah yang memampukan seseorang melaksanakan tugasnya dengan baik atau berkompetensi maupun beramanah atau berintegritas. Kompetensi tanpa integritas itu berujung korupsi. Integritas tanpa kompetensi membuat pemimpin mudah diakali bawahan. Kekuasaan diembannya sebagai jalan melipatgandakan kebajikan publik. Tradisi yunani cendrung terkesampingkan sebab kita hanya melihat politik dan demokrasi sebagai “materi” bukan yang bersifat transendental.

Oleh karenanya, mahar politik yang dilakukan dalam sebuah proses politik di pemilukada, justru tidak memberikan edukasi politik ke masyarakat justru mempertontonkan praktek awal terjadinya perusakan nilai yang berkembang di masyarakat. Jelas, ketika calon kepala daerah sebelum maju harus memberi mahar politik yang besar kepada parpol, sehingga ketika ia sudah terpilih maka kepala daerah yang bersangkutan harus mampu mengembalikan mahar politik yang telah dikeluarkannya, dengan cara apa? tentu dengan berbagai cara, termasuk melabrak undang-undang yang kemudian terjebaklah dalam tindak pidana korupsi.

BACA JUGA:MENANTI “JAMU” UNTUK PARA PELAKU USAHA DAN PERBANKAN

BACA JUGA:Adaptasi Pemimpin Babel dengan Pilar Kepemimpinan “Blue Ocean Strategy” Dalam Menghadapi Tantangan Krisis

Sehingga dengan demikian mahar politik begitu lebih mudah dimenangkan oleh politik dinasti melalui pencitraan dan “perasaan merasa” sebagai tokoh lokal yang perlu mendapat dukungan partai maupun masyarakat pemilih. Tetapi menafikkan tokoh-tokoh yang memiliki kharisma tetapi tidak memiliki dana politik yang cukup untuk membeli partai politik. sebab elit politik telah menyandera keinginan rakyat dimana digelar kontekstasi politik itu, sebab siapa yang harus mengendarai partai politik tergantung berapa besar mahar, seberapa dekat dengan elit politik, itu semua menjadi “ancaman” bagi demokrasi kita. Sehingga perlu resolusi dan transformasi politik yang besar untuk mengembalikan khittah demokrasi pada sumbunya, sehingga tegaklah pilar-pilar demokrasi diatas kemauan rakyat, bukan pada pemilik modal. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: