Jenis, Persebaran, dan Bahaya Hoaks!

Jenis, Persebaran, dan Bahaya Hoaks!

Ilustrasi --

BACA JUGA:REFORMASI, & PENGHINATAN KAUM INTELEKTUAL

Dengan memahami konsep kategorisasi yang ditawarkan Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO di atas, kita bisa memahami bahwa isu hoaks tak bisa dipandang sebagai suatu yang sederhana. Media sosial masih lah menjadi sumber penyebaran paling berpengaruh terhadap persebaran hoaks. “Kita tidak bisa mengelak. Dunia maya tidak bisa kita raba, namun menimbulkan efek nyata,” ujar Kepala Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) , Sri Sunarti pada “Seminar Nasional Media Sosial dan Tantangan Indonesia di Masa Depan,” Selasa (17/12) di Jakarta.

BACA JUGA:Kanwil Kemenkumham Babel Terima Penghargaan Dari Inspektorat Jenderal

Media sosial memainkan peran lebih besar selain sebagai sumber informasi, yakni sebagai ruang berkomunikasi dengan lingkaran internal yang sifatnya intim, sekaligus sebagai ruang diskusi yang sifatnya publik. Sayangnya, media sosial masih menjadi sumber informasi yang dianggap menjadi ladang penyebaran hoaks dengan berbagai jenisnya itu (misinformasi, disinformasi, malinformasi). 

BACA JUGA:Kanwil Kemenkumham Babel Terima Penghargaan Dari Inspektorat Jenderal

Bahkan, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi persoalan tersebut berdasarkan survei Ipsos dan UNESCO juga ditemukan di 16 negara. Mayoritas atau 68% responden menilai hoaks paling banyak menyebar di media sosial seperti Facebook, YouTube, X/Twitter, Instagram, TikTok, dan lainnya.

BACA JUGA:Kanwil Kemenkumham Babel Terima Penghargaan Dari Inspektorat Jenderal

Grup aplikasi pesan online seperti WhatsApp, Telegram, dan sebagainya juga dianggap banyak menjadi sarana penyebaran hoaks. Hal ini dinyatakan oleh 38% responden. Kemudian, 20% responden menganggap berita bohong banyak tersebar di situs/aplikasi media massa, 19% di televisi, dan 11% responden menilai hoaks banyak menyebar dari diskusi dengan teman, keluarga, atau kolega. Sementara, responden yang menganggap hoaks banyak tersebar di koran/majalah ada 10%, dan di radio proporsinya paling kecil yakni 4%.

BACA JUGA:Kasus Pembunuhan Perempuan di Jebus Terungkap, Pelaku Ternyata Suami Korban

Mengerucut ke Indonesia, Facebook masih menjadi media sosial yang paling sering ditemukan konten hoaks oleh masyarakat menurut laporan Kemenkominfo RI bersama Katadata Insight Center (KIC), dengan persentase mencapai 55,9% pada 2022. Selain Facebook, ada pula warga yang sering menemukan hoaks di berita online dengan persentase sebesar 16%. WhatsApp juga merupakan sarang hoaks yang kerap ditemukan warga RI yakni sebanyak 13,9%. Kemudian, responden juga menemukan hoaks di Instagram 7,4%, diikuti Twitter 2%, koran/majalah 1,4%, Line 0,5%, dan radio 0,3%. Sisanya, 10,9% responden mengaku tidak menemukan hoaks sama sekali.

BACA JUGA:Eliminasi Stunting dan Kemiskinan Ekstrim, Pj Gubernur Safrizal Launching Rampak Gemintang

Penyebaran hoaks di media sosial menjadi kasus yang serius di Indonesia. Pada era serba internet, masyarakat Indonesia harus memahami pentingnya literasi media agar tidak termakan kabar hoaks. Data-data yang terangkum di atas menunjukkan banyak masyarakat Indonesia yang masih kesulitan membedakan informasi yang benar atau salah. 

BACA JUGA:Gugurkan Pencalonan Pasangan Independen, KPU Pangkalpinang Dilaporkan

Dampak hoaks bisa sangat serius dan sangat luas, bahkan sampai mengganggu hubungan sosial, menyasar emosi masyarakat, dan menimbulkan opini negatif sehingga terjadi disintergratif bangsa. Hoaks memberikan provokasi, yaitu menyulut kebencian, kemarahan, hasutan kepada orang banyak, bahkan  dapat menimbulkan skizofrenia, atau gangguan mental berat yang dapat mempengaruhi tingkah laku, emosi, dan komunikasi seseorang. Hoaks juga akan berpengaruh terhadap kestabilan politik dan keamanan.

BACA JUGA:B2SA Go to School, Pj Gubernur Sambangi SMPN 1 Puding Besar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: