DEMOKRASI ; PENYAKIT YANG BENAR PADA PASIEN YANG SALAH
![DEMOKRASI ; PENYAKIT YANG BENAR PADA PASIEN YANG SALAH](https://babelpos.disway.id/upload/409fe443fd3c44eafa1f33e0ca257e91.jpg)
Saifuddin --Foto: ist
Demokrasi pada prinsipnya tak semata hanya membicarakan soal-soal politik---tetapi demokrasi lebih jauh juga membincangkan perihal kehidupan domestik, isu gender, lingkungan, HAM, korupsi, illegal loging dan berbagai isu sosial lainnya. Kapitalisme misalnya yang menghadirkan korporasi dan uang sebagai market atau basis utamanya---faktanya menimbulkan disparitas sosio-ekonomi dengan lahirnya subkultur di masyarakat yakni miskin dan kaya, pengusaha dan pekerja, majikan dan pembantu. Yang pada akhirnya menegasikan dikhotomi yang tajam dengan diksi yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Ini perspektif dalam sosio-ekonomi.
Kapitalisme, sebagai ideologi misalnya ; dengan melihat fakta ketimpangan secara ekonomi di masyarakat, yang kemudian menjelma dalam praktek politik---maka nyaris melahirkan politik bermata uang yang dikenal dengan “politik transaksional”, dan ini adalah awal pembunuhan demokrasi secara massif sekaligus pengrusakan hati nurani rakyat dengan pilihan politiknya. Fenomena ini semakin kesini semakin nampak, dan terbukti dengan sistem pemilu yang setiap lima tahun sekali ada perubahan sebagai bentuk sokongan elitis yang menginginkan status quo di kekuasaan.
Demokrasi sesungguhnya tidak pernah mati atau salah, namun sebagian politisi memanfaatkan demokrasi sebagai jalan untuk berkuasa—sekaligus mengkebiri demokrasi dengan dalih kepentingan rakyat.
BACA JUGA:PILWAKO DAN ENTERPRENUER BERKEMAJUAN
BACA JUGA:MENUJU OTORITARIANISME
Di sekian banyak percakapan termasuk sorotan media asing misalnya yang melihat Indonesia sebagai negara dalam konteks politik mengalami kemunduran dari 64 negara Indonesia berada pada urutan 63 sebagai negara yang indeks demokrasinya paling rendah. Ini membuktikan bahwa ada beberapa bagian penopang demokarsi yang tidak tersentuh dengan baik seperti penguatan hukum, pemberdayaan politik kewargaan, keadaban (Civility), pemberantasan korupsi, penguatan kelembagaan negara dan penguatan civil society.
Parameter ini sesungguhnya adalah untuk melihat sejauhmana demokrasi itu tumbuh dan berkembang. Pemilu adalah proses melahirkan keterwakilan politik di parlemen vis pemimpin yang dipilih secara langsung. Sehingga kualitas demokrasi juga menentukan kualitas pemimpin yang dihasilkannya. Pemilu 2019 yang lalu yang sebagian orang menganggapnya sebagai pemilu yang paling terburuk sepanjang sejarah politik bangsa ini. Di tandai dengan aprobitas (ketidak-jujuran) dalam proses penyelenggaraan misalnya hingga harus menelan korban kurang lebih 800 orang petugas pemungutan suara yang meninggal karena kelelahan, ntah itu benar atau tidak tetapi itu fakta dalam proses politik di tahun 2019.
Ruang publik terbelah menjadi dua diksi kotor yakni ; cebong dengan kampret. Media yang tertutup dan hanya bisa mengakses golongan atau kelompok tertentu, sementara di pihak yang lain nyaris tak ter-beritakan. Menurut Samuel P Huntington ini bisa disebut dengan dirupsi demokrasi. Padahal media salah satu penyanggah demokrasi setelah parlemen, NGO dan kaum civil society. Tetapi nampak media mengalami kebekuan dalam poros kekuasaan. Ini bertanda bahwa pemilu bukan melahirkan keterbukaan namun memunculkan “katup” dalam sebagian yang lain. Ini miris ketika kita mencoba menghadirkan demokrasi yang substantif, bukan karena elektoral semata. Dan mungkin fakta tersebut satu cara dari sekian banyak operandi untuk membunuh demokrasi.
Membunuh demokrasi ; tetapi tetap demokrasi, ya, biar dianggap demokratis.
Kata Prof. Azyumardi Azra -demokrasi seolah-olah.
Wassalam.(*)
BACA JUGA:SURAT CINTA DARI ISTANA, & MASA DEPAN DEMOKRASI
BACA JUGA:KEJUJURAN PEMILU DALAM SENGKETA
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: