SURAT CINTA DARI ISTANA, & MASA DEPAN DEMOKRASI

SURAT CINTA DARI ISTANA, & MASA DEPAN DEMOKRASI

Saifuddin --Foto: ist

Oleh : Saifuddin

Direktur Eksekutif LKiS

Penulis Buku ; Politik Tanpa identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi, Catatan cacat-an Demokrasi

______________________________

 

Dalam tradisi penulisan drama, selalu ada alur cerita, latar, dialog, tokoh baik itu antagonis maupun yang protagonis---dan cerita selalu disusun seepik mungkin untuk memantik pembaca, penonton atau pemirsanya. Apakah sebuah alur cerita itu akan bernuansa romantis, horor, semi sex, kolosal ataupun drama monolog yang menampilkan ketokohan seseorang yang secara berlebihan. 

 

Sejarah ditulis bagi mereka yang menang --sehingga bisa memunculkan manipulasi dalam penulisannya. Berbeda dengan penulisan kisah (story) yang biasanya penulisnya mengalami sendiri, walau satu kelemahannya ada “ketidakjujuran” dalam soal asmara atau kisah cintanya, sehingga seringakali dia sebut perempuan itu sebagai bunga mawar---atau dia sebut lelaki pujaannya sebagai sang imam.; serba metamorfosis. Tetapi untuk membandingkannya justru story (kisah)  jauh lebih jujur dibandingkan dengan history (sejarah). 

BACA JUGA:KEJUJURAN PEMILU DALAM SENGKETA

BACA JUGA:DILEMATIK ANTARA WAJIB DAN TIDAKNYA EKSTRAKURIKULER PRAMUKA

Terkait dengan politik dan demokrasi ; Jhon F Kenendy (mantan presiden Amerika) pernah berkata “Kalau politik bengkok maka prosa akan meluruskannya, dan kalau politik kotor maka puisi akan membersihkannya” . Sementara Albert Camus dalam bukunya “Seni dan pemberontakan” dinarasikan bahwa mozaik, puisi, selebaran, tulisan---adalah cara untuk mengingatkan kekuasaan. Dalam politik dan hukum modern mungkin bisa dibilang “Amicus Curie” adalah sebuah bentuk respon atas keprihatinan terhadp situasi demokrasi untuk terlibat dalam memberikan opini kepada proses pengadilan terkait isu yang berkembang---seperti adanya kecurangan dalam pemilu misalnya, adanya tindakan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan), serta pelanggaran keras terhadap etika dan norma dalam tata bermasyarakat dan bernegara. 

 

Merespon kondisi politik Indonesia sejak memasuki kontekstasi politik 2024---begitu banyak polemik dan diskursus yang memenuhi ruang publik, dari putusan MK nomor 90 tahun 2023 yang meloloskan batas umur cawapres yang dialamatkan kepada Gibran (putera presiden Jokowi), ini awal yang menciptakan polemik hukum yang hingga saat ini masih dipersoalkan---karena keputusan MK ini ber-aviliasi kepada keluarga istana yang kemudian melahirkan politik dinasti. 

BACA JUGA:Tips Perencanaan Keuangan dan Penganggaran Bulan Ramadan

BACA JUGA:Pergerakan Roda Ekonomi dan Bisnis Bulan Ramadan

Politik pengkondisian pun dilakukan bukan hanya untuk menyandera ketua-ketua partai politik yang bermasalah dengan kasus hukum, sehingga Koalisi besar di tubuh Prabowo pun merapat. Secara psikologi politik ; Prabowo tentu sangat diuntungkan tanpa harus merogoh kantong dengan biaya politik yang besar, karena istana menderek partai-partai besar itu ke koalisi pimpinan Prabowo sekalipun deal-deal politiknya sang putera mahkota harus mendampingi sebagai cawapres Prabowo. Secara psikologis, Prabowo tidak lagi memperdulikan Gibran “pantas atau tidak” yang terpenting bisa menang, walau dengan lewat tangan Jokowi. Mengutip perkataan Eep Saifulloh fatah “Bahwa Prabowo menikmati kejahatan politik Jokowi”. 

 

Secara politik Prabowo tidak memiliki beban kejahatan, sebab semua itu dilakukan istana demi memenangkan anaknya. Walau secara kasat mata kejahatan politik Jokowi itu nampak dengan jelas seperti politisasi bansos, pengerahan aparat, keberpihakan menteri terhadap paslon tertentu, keterlibatan perangkat desa, dan yang lebih fatal pengakuan ketua KPU Hasyim Asyari kalau lolosnya Gibran karena ada surat dari Jokowi. Secara eksplisit ini adalah intervensi hukum dan politik yang dilakukan oleh Jokowi sebagai presiden---dan ini salah satu bentuk pelanggaran konstitusi negara. 

 

Surat cinta atau katebelece ini sesungguhnya adalah bentuk ketidaknetralan seorang presiden didalam ruang demokrasi. Jadi benar sebagaian pengamat menyebutkan kalau Jokowi memiliki kecemasan yang besar setelah ia tidak lagi berkuasa, sehingga harus melakukan politik titipan ; (1) Menitip Gibran sebagai cawapres mendampingi Prabowo, dengan taktik menyendera beberapa ketua partai yang terindikasi bermaslah secara hukum. (2) Ingin menitip Pratikno di kabinet Prabowo untuk membantu Gibran. (3) Menitip pesan ke Prabowo, dengan meminta posisi Kapolri dan kejaksaan, demi menjaga trah politik kedepan. (4) Menitip menantu, anak, aspri untuk bertarung di Pilkada serentak. 

BACA JUGA:PEREMPUAN, POLITIK DALAM ETALASE PATRIARKI

BACA JUGA:Metaverse dan Tantangan Bagi Generasi Alpha

Politik titipan ini sesungguhnya semakin menyuburkan politik dinasti. Sekali lagi, Max Weber dalam bukunya “The Protestan Etic,  sebagai spirit kapitalisme” dijelaskan secara apik bahaya dari dinasti politik yang disebutnya dengan istilah “dinastokrasi” ; (1) Mata rantai korupsi begitu sulit untuk diberantas karena sirkulasi kekuasaan diputar ditengah keluarga. (2) Sangat menghambat proses demokrasi yang suportif, karena lebih memetingkan hubungan kekerabatan dan ikatan primordialisme dalam urusan politik. (3) Berkecendrungan mengarah kepada prototipe feodalisme, sementara secara teori feodalisme sangat bertentangan dengan demokrasi. 

 

Karena itu praktek kekuasaan ini cendrung menyuburkan korupsi dan menghambat proses demokrasi. Dan semua itu bermula dari intervensi politik kekuasaan terhadap independensi lembaga-lembaga negara seperti KPK, MK, KPU dan Bawaslu. Surat cinta dari istana itu telah membuat kekacauan-kekacauan secara sosial dan politik sehingga pemilu 2024 terindikasi penuh kecurangan. 

 

Aristoteles suatu ketika memberikan pandangan dia bilang ; “kami menjadi apa yang kami lakukan berulang kali, kesempurnaan, oleh karena itu bukanlah tindakan melainkan kebiasaan”. Aristoteles percaya bahwa pendidikan akan mampu mengubah karakter seseorang untuk tidak sering melakukan pelanggaran etik dan moral dalam kehidupan politiknya. Seba  jal itu akan mencerminkan karakter seseorang pemimpin yang tidak bijak pada dirinya dan warga negaranya. 

 

Plato misalnya, dalam bukunya “Republik” digambarkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang tidak stabil dan rentan dengan mobokrasi, dimana keputusan politik dipengaruhi oleh keinginan dan emosi massa yang tidak terdidik. sehingga demokrasi cendrung menghasilkan pemimpin yang tidak kompeten dan keputusan yang implusif, yang apada akhirnya akan mengarah pada keruntuhan negara. Dari pandang Plato ini kita bisa menyimak bagaimana sebuah hasil kontekstasi politik dipenuhi aksi-aksi massa yang bukan hanya menolak hasil pemilu curang, tetapi lebih mengarah pada aksi ketidakpercayaan publik terhadap kekuasaan yang kurop, curang dan culas. 

 

Justru Aristoteles mengungkapkan hal yang berbeda namun penuh dengan ke khawatiran terhadap demokrasi. Baginya, demokrasi lebih menekankan pada kebebasan individu. tetapi diwaktu yang sama ada ke khawatiran adanya potensi tirani mayoritas dalam demokrasi. Sehingga Aristoteles menakankan pentingnya pembatasan kekuasaan mayoritas untuk melindungi hak-hak minoritas dan mencegah penindasan yang tidak adil. Kapitalisme politik modern terasuk di dunia ketiga termasuk Indonesia tirani mayoritas secara politik dan ekonomi masih dikuasai oleh kaum biorjuasi (pengusaha) yang bersekokngkol dengan tirani kekuasaan. Sehingga disparitas sosial dan ekonomi demikian tajam antara si kaya dengan si miskin. Negara belum sepenuhnya berpihak pada keadilan ekonomi dan sosial pada rakyatnya. 

BACA JUGA:Bulan Ramadan, Belajar Lancar Pahala Mengalir

BACA JUGA:Mencegah Perilaku Bullying di Sekolah

Situasi ini kemudian cendrung memunculkan tindakan abuse of power dari kekuasaan akibat---interdepensi ekonomi (oligarkis) terhadap kekuasaan. Relasi politik dan ekonomi pada aspek bisnis begitu kental dengan hadirnya para pemodal dalam ruang demokrasi. Demokrasi yang berbiaya mahal kian menjadi trend politik modern. Theodore Putih mengungkapkan bahwa “uang yang mengalir dalam politik, sesungguhnya itu pencemaran demokrasi”. Praktek obligator vote sulit dihindari dalam kubangan politik tarnsaksional atau lebih dikenal dengan money politik (politik uang). 

 

Selanjutnya apa yang kemudian yang terjadi terhadap masa depan demokrasi?, kalau praktek kekuasaan tidak lagi mencerminkan nilai-nilai demokrasi. John Stuart Mill juga pada akhirnya mengajukan kritik terhadap demokrasi. Mill mengkhawatirkan kemungkinan tirani opini publik dalam masyarakat demokratis, dimana individu-individu cendrung mengikuti arus mayoritas tanpa mempertimbangkan argumen dan bukti yang mendukung. Dalam opandangan Islam disebut “bertaklik secara buta pada sesuatu yang tidak mereka ketahui”. 

 

Dan pada realitas politik apa yang diungkapkan John Stuart Mill banyak benarnya diman keterlibatan publik pada peristiwa politik itu sangat di ilhami oleh karena figuritas calon pemimpin yang diusung, atau boleh jadi karena sesnsitivitas emosional belaka. Pada akhirnya keberpihakan publik bukan pada sisi kebenaran, tetapi sejauhmana pembentukan opini publik di dalam mempengaruhi pemilih. 

 

Jokowi sebagai presiden tentu memiliki perangkat yang besar untuk memberikan pengaruh secara politik kepada publik, misalnya dengan tampilan kesederhanaan dan merakyat. tetapi disatu sisi yang lain keberpihakan politik Jokowi justru membelah keberpihakan rakyat---yang bukan atas dasar rasionalitas tetapi lebih kepada emosional dengan melihat berbagai aspek pelanggaran yang terjadi. Ketidak-terimaan Gibran bukan soal suak atau tidak suka, tetapi publik memandang ini lebih kepada adanya pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi---yang kemungkinan adanya intervensi politik dari istana. 

 

Sekali lagi, surat cinta dari istana adalah bentuk intervensi politik---yang mendeskreditkan demokrasi. David Runciman, professor politik dari Cambridge University mengungkapkan ; “Apakah demokrasi adalah titik akhir dari perkembangan politik?, jangan-jangan bukan demokrasi yang sekarat dan mati, tetapi kita hanya berada pada situasi dimana penyakit kita yang benar, pada pasien yang salah”. 

 

Demikian demokrasi dalam percobaan pembunuhan secara massal demi hasrat dan kekuasaan. (*)

 

BACA JUGA:MELATI DARI BABEL MENUJU SENAYAN

BACA JUGA:PEREMPUAN, POLITIK DAN PERJUANGAN GENDER (Catatan perempuan, Politik di Bangka Belitung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: