DEMOKRASI ; PENYAKIT YANG BENAR PADA PASIEN YANG SALAH

DEMOKRASI ; PENYAKIT YANG BENAR PADA PASIEN YANG SALAH

Saifuddin --Foto: ist

Oleh : Saifuddin

Direktur Eksekutif LKiS

Penulis Buku Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Kekuasaan, Catatan cacat-an Demokrasi.

________________________________________

Topik tulisan ini diilhami dari buku Obituari Demokrasi yang mempertanyakan masa depan demokrasi, seolah menyibak tirai jendela dan melihat tembok berkabut. Demokrasi yang dipahami sebagai sistem politik yang dirancang menjamin kepemimpinan oleh mayoritas, mengalami pingsan berkali-kali di bawah kenyataan ngeri ; pemimpin otoriter dapat melawan institusi yang membawa mereka ke kursi kekuasaan. 

Cara demokrasi mati?, melalui pengerosian norma-norma yang melemahkan institusi demokrasi secara halus dan perlahan. Kesimpulan dari “teori modernitas” pun dipertanyakan oleh seorang professor politik Cambridge David Runciman ; apakah demokrasi adalah titik akhir perkembangan politik?”, jangan-jangan bukan demokrasi yang sekarat dan mati, tetapi kita hanya berada pada situasi dimana penyakit kita yang benar, pada pasien yang salah. 

Menelaah pernyataan tersebut diatas, maka dapat ditelusuri sejak para filsuf meletakkan demokarsi sebagai ajaran kemanusiaan dalam mengatur tata kelolah masyarakat dan budaya di kala itu---walau pada fase-fase tertentu sebagian dari mereka juga menolaknya. Socrates misalnya mendorong pikiran tentang demokrasi walau kemudian ia menistakan. Ini bisa dibilang sebagai ahistory. 

BACA JUGA:POLITIK BELAH BAMBU DI PILKADA

BACA JUGA:Menanti Kinerja Wakil Rakyat Bangka Terpilih

Tetap disisi yang lain kata demokrasi pertama kali muncul dalam mazhab politik dan filsafat Yunani kuno di negara Kota Athena dipimpin oleh Cleisthenes. Dan warga Athena mendirikan negara demokrasi pertama pada tahun 507-508 SM. Sehingga Cleisthenes disebut sebagai bapak demokrasi Athena. Dan pada fase perkembangan pada politik modern Abraham Lincoln (Presiden Amerika ke 16) dengan pemikiran dan perjuangannya menghentikan perbudakan adalah momentum bagi Lincoln di kenal sebagai bapak demokrasi di dunia. Seiring dengan itu maka perkembangan demokrasi pun kian meluas di berbagai belahan dunia---dengan asumsi bahwa demokrasi menjadi pilihan atas otoritarianisme. 

Karena itu perkembangan demokrasi sebagai alternatif dari teori politik klasik---dan dengan munculnya fenomena otoritarianisme, fasisme, sosialisme dan komunisme, terkesan Francis Fukuyama dilahirkan untuk merespon kehadiran kapitalisme sebagai pemenang setelah ia menulis buku “The End Of History” yang di persepsikan matinya sejarah, dan kelahiran kapitalisme yang dianggap sebagai pemenangnya. 

Otoritarianisme yang menghembuskan nafas terakhirnya---pada fase masyarakat terbuka turut menyulut lahirnya kapitalisme sebagai spirit (baca ; The Protestan Etic, Max Weber), yang kemudian menegasikan pada industri dan tehnologi manufaktur sebagai variabel untuk melihat market dalam ideologi kapitalisme. Risalah terkenal Adam Smith, yaitu The Wealth of nations (1776) yang diakui sebagai tonggak utama kapitalisme klasik yang mengekspresikan gagasan “Laissez Faire” dalam ekonomi. Dari perspektif ekonomi Adam Smith menitikberatkan gagasan pada nilai tenaga kerja (The value of labour) yakni bahwa produktivitas tenaga kerja merupakan faktor kunci untuk menciptakan kesejahteraan. Dan salah satu konsep yang terkenal dalam pandangan ekonominya adalah “The Invisible Hand”. 

BACA JUGA:MEGAWATI DIANTARA PRABOWO DAN JOKOWI

BACA JUGA:OBITUARI DEMOKRASI DI MAHKAMAH KONSTITUSI

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: