RIMBAK, REBAK, PEMITAK, KUBAK, BEBAK DAN KELEKAK(Bagian Tiga)

RIMBAK, REBAK, PEMITAK, KUBAK, BEBAK DAN KELEKAK(Bagian Tiga)

Akhmad Elvian--

angin bertiup dari arah Timur Laut, Timur atau Tenggara, dengan sendirinya titik sentral pembakaran dimulai pada posisi Timur:

Kelompok pertama, yang terdiri dari empat orang menyulut ke arah Utara lalu memutar ke arah Barat terus ke arah Selatan, 

Kelompok kedua, empat orang menyulut ke arah Selatan memutar ke arah Barat terus ke arah Utara dan akhirnya bertemu dengan kelompok pertama, seluruh rebak akan terkurung oleh api, namun demikian pengempeh (hempasan terbesar) gelombang api tergantung dari arah mana asal angin yang dominan (kencang), bila angin dari arah Timur yang kuat tentu bagian Baratlah pengempehnya, bila angin dari arah Timur Laut yang kuat sudah tentu bagian Barat Dayalah pengempehnya dan bila arah angin dari Tenggara yang kuat, tentu bagian Barat Lautlah pengempehnya, tugas selanjutnya penyulut rebak, adalah mengawasi bagian-bagian yang mereka sulut, jangan sampai ada api yang berpindah ke hutan atau rebak orang lain melalui lelatu (dedaunan yang ada apinya diterbang oleh angin) jatuh ke hutan atau rebak orang lain, bila rebak itu seluas satu hektar atau empat petak, maka waktu yang digunakan untuk pembakaran rebak selama dua jam. 

BACA JUGA:MATA GAWE

Biasanya sebagai tanda adanya aktifitas masyarakat membakar rebak untuk dijadikan ume adalah dari kejauhan akan tampak gumpalan asap hitam pekat kecoklat-coklatan dan kemudian berakhir dengan asap putih, sebagai pertanda api sudah mulai memakan batang-batang kayu.

Keesokan harinya pemilik lahan dibantu oleh beberapa orang, melakukan kegiatan manduk, yaitu mengumpulkan kayu yang tersisa dari pembakaran yang tidak dimakan api. Kayu-kayu tersebut dikumpulkan untuk dibakar pada tempat yang mantak (rebak yang tidak atau hanya separuhnya dimakan api). Pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh lelaki sedangkan perempuan bertugas mempersiapkan makanan serta minuman bagi orang yang sedang bekerja. Kegiatan berikutnya adalah menggalang atau pemitak, yaitu memasang sekat-sekat atau petak-petak tanah dengan menggunakan bagian-bagian kayu yang tidak terbakar untuk penempatan rencana lokasi tanaman berdasarkan kondisi lahan dan karakteristik lahan dengan jenis tanaman apa yang cocok untuk ditanam, apakah yang akan ditanam jenis padi cerak, padi ketan, umbi-umbian atau jenis sayur-sayuran. Jenis dan karekteristik lahan bisa bencah-bencah atau berair, biasanya untuk ditanami jenis sayur mayur yang cocok di ladang ume. Karekteristik tanah juga bisa berbentuk pusuk atau bergundukan sering juga disebut gulem sehingga cocok untuk ditanami umbi-umbian.

Aktivitas yang paling penting kemudian adalah menentukan lokasi yang tepat untuk mendirikan Pondok ume yang disebut marung (ada yang menyebutnya memarung atau pangkul). Pondok ume yang kemudian difungsikan sebagai rumah tradisional orang Bangka merupakan tempat yang agung atau mulia yang disebut rumah panggung (pang=tempat, gung=agung atau mulia), oleh karena kemuliaannya, maka harus dicari atau diteliti lokasi yang tepat untuk Pondok ume sebagai cikal bakal rumah tempat tinggal. Kegiatan mencari lahan untuk Pondok ume disebut dengan memarung (berasal dari kata arung atau menjelajah). 

BACA JUGA:KAMPUNG LIUKFUNTHEEUW ATAU LAKFOETOE

Pondok ume atau marung awalnya adalah tempat untuk istirahat setelah bekerja, bahkan bila padi sudah mulai mengurai dan menguning dijadikan untuk tempat tinggal. Pondok ume dibuat sederhana sekali berbentuk arsitektur vernakuler yang disebut kerak nguap. Arsitektur tradisional vernakular Kerak Nguap menjadi cikal bakal arsitektur Melayu awal bangunan rumah bagi orang Bangka yang disebut dengan arsitektur Melayu Lama atau Melayu Klasik. Pola arsitektur menggunakan konsep “bubung” sebagai ciri dan identitas utamanya.  Pola pemukiman orang Darat pribumi Bangka terdiri atas 5 hingga 10 bubung pondok ume yang mengelompok, dibangun dengan pola mancapat sesuai arah mata angin. Pondok ume merupakan karakter hunian dasar yang berakar kuat pada masyarakat Bangka yang hidup berkampung atau berhimpun dalam konsep “saling tulong” dan “besaoh” atau bekerjasama dalam kehidupan secara berkelompok. Masing-masing kelompok besaoh biasanya terdiri antara lima sampai sepuluh bubung pondok ume. (Bersambung/***)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: