Makin Lame Idup, Makin Banyek Kek Ditempoh

Makin Lame Idup, Makin Banyek Kek Ditempoh

Ahmadi Sofyan - Penulis Buku /Pemerhati Sosial Budaya--

Suatu saat saya memilih menjadi pengurus Partai, ada yang nyeletuk: “Tuh lihat, sudah mulai ambisi meraih jabatan politik”. Kalau ternyata saya tidak berpartai malah dibilang: “Sok idealis sok independen! Emang kamu mau melakukan apa dengan idealisme dan independensi bodohmu itu?!”. Pernah saya berkecimpung dalam sebuah organisasi, dibilang: “Sudah mulai sok ngatur-ngatur organisasi? Kami ini orang lama di organisasi ini sedangkan kamu itu anak kemaren sore!”. Kalau saya menolak ajakan untuk berorganisasi malah disebut: “Takut ketahuan kalau emang nggak bisa berorganisasi ya?!”. 

Kalau saya kumpul-kumpul dengan kawan-kawan pemuda, dibilang: “Udah mulai ngedeketin anak-anak muda, mau bikin gerakan?”. Kalau saya menjauh dan nyaris tak pernah kumpul malah dibilang: “Dasar eksklusif, maunya cuma kumpul dengan pejabat dan pengusaha saja!”. Saat saya mengkritisi perilaku PLN dengan komentar dan tulisan di media massa bahkan dengan melakukan aksi demonstrasi serta datang langsung menemui GM PLN Babel, ada yang dibilang: “Ente pengen jadi pahlawan kesiangan ya?”. Lantas saya mencoba untuk diam kala listrik padam dan mencoba tidak (lagi) mengkritisi PLN, eh, malah dituduh berbagai macam kalimat: “Udah cair nih, dapat berapa duit dari PLN? Bagi-bagi dong… Kok nggak berani bersuara lagi!”.

Awal-awal sering muncul di koran lokal, ada yang bilang: “Udah mulai melacurkan diri. Wartawan dibayar berapa demi memenuhi hasrat pengen populermu itu?!”. Tapi kalau lama tidak muncul, malah dibilang lagi “Udah nggak laku lagi ya? Kok hilang dari peredaran?!”Kalau saya menulis buku biografi tokoh dan mendapatkan bayaran dibilang: “Dasar komersial”. Tapi saat tulisan saya beredar dan mengikhlaskan untuk tidak dibayar, dibilang: “Nggak rasional”. Kadangkala saya menulis kritis di media, malah disumpah-sumpahin “Hei, penulis sialan! Kalau nulis itu yang nyenengin hati orang (pembaca), jangan semaunya! Emang apa jasa kamu terhadap Bangka Belitung ini?!!”. Tapi disaat saya menulis hal-hal yang baik atau memuji seseorang dikata-katain lagi “Dibayar berapa sama si Anu, sampai begitunya memuji. Dasar penulis bermental penjilat!”

Alhamdulillah, sekian tahun belajar hidup di kampung halaman sendiri (Bangka Belitung), setelah sejak kecil merantau di beberapa Kota di Jawa Timur, kalimat-kalimat diatas sudah saya dapatkan dan syukurnya saya sudah tidak kaget lagi. Untuk sekedar mengingatkan, kadangkala puluhan WA tersebut saya abadikan dengan masih tersimpan dalam handphone, sekali-kali saya baca untuk nostalgia. 

Saya bersyukur, ternyata mereka-mereka itulah orang yang benar-benar menyayangi saya dengan cara “mengklakson” sebagai pengingat agar saya tidak sembarangan “berkendaraan” di jalan raya Bangka Belitung tercinta ini. Karena hidup di dunia ini bagaikan berkendaraan di jalan raya, butuh rambu-rambu bahkan diklakson keras agar kita selalu waspada. Semakin lama berkendaraan di jalan raya, semakin panjang jalan yang kan ditelusuri, maka semakin banyak yang bakal kita temui. 

Oya, sejak beberapa bulan ini saya sengaja menepi untuk meraih sunyi di pundok kebun tepi sungai dalam kesendirian. Menghindari keramaian kota dan hiruk pikuk duniawi semu dan kepalsuan, ternyata masih ada yang nyeletuk: “Gak laku lagi di kota? udah nggak dipakai lagi ya?”. Ah, jadi ingat waktu masih kecil, Mak pernah mengingatkan: “Makin lame idup, makin banyek kek ditempoh” (semakin panjang usia, semakin banyak yang akan ditemui). 

Salam Setempoh!(*)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: