Makin Lame Idup, Makin Banyek Kek Ditempoh

Makin Lame Idup, Makin Banyek Kek Ditempoh

Ahmadi Sofyan - Penulis Buku /Pemerhati Sosial Budaya--

Oleh: AHMADI SOFYAN

Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya

 

ADA orang yang riuh menyempurnakan kepalsuan. 

Ada juga orang yang tersembunyi dari keramaian

tapi menyempurnakan kesejatian.

HIDUP bagaikan berkendaraan di jalan raya. Saat berkendaraan di jalan raya yang kian hari kian berjubel, nyerempet atau setidaknya diserempet itu adalah hal yang biasa. Spion hilang, pentil ban lenyap, cat tergores, plat copot dan sebagainya adalah bentuk dan resiko yang bisa dialami oleh setiap pengendara. Jalan yang kita lalui pun tak selamanya mulus, sekali-kali kita berhadapan dengan lobang kecil maupun lobang besar menganga. Sekali-kali juga ban bocor karena paku, entah paku beneran maupun paku yang sengaja ditebarkan para “pengusaha tambal ban” di sepanjang jalan raya. 

Bahkan di jalan tol sekalipun bukan berarti tak ada kemacetan, apalagi jalan tol di Indonesia. Begitulah kurang lebih hidup yang kita lalui di dunia ini. Misalnya di Jakarta, seringkali kita mengambil jalan pintas untuk menghindari kemacetan. Nyatanya di tengah-tengah jalan pintas tersebut justru terjebak macet. Ternyata yang berpikiran sama dengan kita juga sangat banyak. Orang Arab bilang: “Misluka katsiiir” (Orang kayak kamu itu buanyaaak).

Jalan raya bukan milik kita perorangan atau kelompok sehingga kita tak bisa berkendaraan sembarangan, sak enak udel e dewe, atau “sekenek perot” (semaunya), begitupula kehidupan dunia secara sosial. Kadangkala kita memilih suatu jalan yang kita anggap bisa cepat sampai tujuan, nyatanya jalan tersebut harus terhambat karena sedang ada perbaikan, jembatan putus, ada demonstrasi, tawuran pelajar, pohon tumbang dan sebagainya. 

Di jalan raya antar pengendara tak saling tahu kemana tujuan dan tak mau tahu apa kita sedang terburu-buru atau tidak, sedang ada kepentingan yang genting atau tidak. 

Di jalan raya juga antar pengendara tak saling tahu apa isi dalam pikiran masing-masing. Ente sedang bermasalah di rumah tangga, dengan mertua, dengan atasan, rekan kerja atau dengan tetangga, masa bodoh. 

Begitupula dengan perjalanan “berkendaraan” kita dijalan raya bernama dunia. Apa saja yang kita lakukan tak selamanya berjalan dengan apa yang kita harapkan karena tak semua orang tahu apa yang telah dan akan kita lakukan, apalagi isi dalam kepala (pikiran) kita. Selanjutnya juga jangan pernah berharap bahwa apa yang telah kita lakukan semua orang memuji, menyetujui, senang atau berpikiran positif. Begitulah hidup dan hal demikian itu harus ada dalam hidup kita. 

Misalnya, waktu saya dekat dengan Pak Zul (Zulkarnain Karim) saat masih menjadi Walikota, dibilang “Ahmadi sedang menjilat kekuasaan”. Ketika Pak Zul sudah tidak jadi Walikota dan bahkan mendekam dalam Lapas Tuatunu serta dirawat di Rumah Sakit, saya masih dekat dan terus mendampingi beliau, malah ada yang bilang: “Sok loyal” dan “Sok setia”. 

Saat saya dekat dengan para Kepala Daerah lainnya malah ditanya: “Sedang nyari proyek apa lagi?”. Kalau saya berusaha untuk tidak kenal dengan pejabat malah disebut juga: “Sok jual mahal, emang kamu siapa?!”. Kalau saya terlihat akrab dan bersahabat dengan pengusaha Tionghua dibilang “Pro Tionghua” bahkan pernah juga saya dapat kalimat: “anjing”-nya orang Cen (China/Tionghua), disaat saya menjauh seakan tak kenal dibilang “dasar rasis” dan “anti Tionghua”. Kalau saya bergaya sedikit perlente dan suka gonta-ganti mobil pasti dituduh: “Pasti hasil menjilat duitnya pejabat anu atau pengusaha anu, wajar saja!”. Tapi jika saya menampakkan kemiskinan dan diketahui ternyata memang tak punya apa-apa, malah disebut: “Kamu kok bodoh sekali, dekat dengan banyak pejabat dan pengusaha tapi nggak bisa ngambil kesempatan buat nyari duit”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: