Sejarah Hubungan Antar Etnik di Bangka (Bagian Tiga)

Sejarah Hubungan Antar Etnik di Bangka (Bagian Tiga)

Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan- FOTO: Ilust babelpos.id-

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP, ECH - Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

KEBERSAMAAN dengan Depati Amir dalam perjuangan melawan Pemerintah Hindia Belanda yang dilakukan pribumi Bangka atau dalam laporan Belanda disebut de Bankanezen (Orang Darat dan Orang Laut), Orang Melayu, dan para pejabat dari pribumi yang bekerja dengan Belanda maupun orang-orang Cina serta berbagai etnik group dari berbagai wilayah Nusantara, menumbuhkan semangat kebersamaan dan rasa senasib sepenanggungan yang kemudian juga mengantarkan mereka mendapatkan hukuman penjara dan pengasingan/pembuangan ke berbagai wilayah di Hindia Belanda. 

Dengan dalih penerapan exorbitante rechten, pemerintah Hindia Belanda menindas pergerakan rakyat dengan hak atau kekuasaan Gubernur Jenderal untuk melakukan tindakan kepada para pejuang yang dianggap menghalangi upaya Belanda menjajah Indonesia, diantaranya dengan Internering yaitu menunjuk suatu tempat yang harus didiami seseorang dan tidak boleh meninggalkan tempat itu tanpa izin. Dalam kelompok Orang Melayu misalnya terdapat Haji Abubakar, seorang ulama kharismatis dari Sumatera Barat. Dalam laporan Belanda, Ia dicap sebagai salah satu pemimpin perang Amir yang berbahaya. Dalam laporan Belanda, Tanggal 31 Januari 1851, Nomor: La. A/24, terbukti orang ini memainkan peran utama membangkitkan tindakan pemberontakan pada diri Amir. Haji Abubakar mendapatkan hukuman dibuang dari pulau Bangka untuk Seumur Hidup dan ditempatkan pada penjara di Batavia. 

Selanjutnya hukuman bagi Orang Darat Pribumi Bangka (de bankanezen) yang berperan sebagai pasukan utama Depati Amir, salah satunya dapat diketahui dalam laporan Residen Bangka:..Met reserte aan mijne missive 6 Januarij 1851 n: 55/A num ik nijheid Uwer Exellentie voortestellen: Ten vervolge van de besluiten 7 December 1850 n: 10 en 22 January n: 3 te bepalen dat op den voet omschreven bij het Reglement vewat in het Staatblad van 1838 n: 8 naar het Etablissement van landbower vewij den zullen worden. a. De bankanezen Renah en Akie Ongka voor den tijd van zeven jaren b. De bankanezen Mienah en Selabar voor den tijd van vijf jaren c. De bankanezen Akie Njap voor den tijd van een jaar…. Maksudnya: dengan mengacu pada surat saya, 6 Januari 1851 Nomor: 55/A, izinkan saya mengusulkan kepada yang terhormat: 

Menindaklanjuti besluit 7 Desember 1850 Nomor 10, dan 22 Januari 1851 Nomor 3, ditetapkan, bahwa atas dasar perintah pada peraturan staatblad 1838, Nomor 8, akan dibuang ke komplek perkebunan: (a). Orang Banka Renah dan Akie Ong Ka dengan waktu 7 tahun (pembuangan), (b). Orang Banka Mienah dan Selabar dengan waktu 5 tahun, (c). Orang Banka Akie Njap dengan waktu 1 tahun. Perjuangan bersama Depati Amir juga dilakukan oleh Orang Laut Pribumi Bangka, dan salahsatu beritanya dapat diketahui dalam Pertimbangan dan Saran dari Wakil Komandan Admiral Angkatan Laut Hindia Belanda dan Inspektur Marine kepada Gubernur Jenderal di Batavia, tertanggal, Batavia 12 September 1850, Nomor 658/A, (ANRI: BT 17/9/1850 Nomor 1), menanggapi Surat Residen Bangka, Tanggal 3 September 1850 Nomor 4537: ”Ternyata kabar dari penguasa Pulau Lepar dan Depati Biliton, bahwa bajak laut (perompak) yang terlihat berulangkali di pantai Jawa adalah orang Laut dari Lepar (pulau Lepar) dan Biliton (pulau Belitung), rupanya betul halnya sama dilaporkan Gezaghebber (penguasa), Horneveld pada waktu itu ketika berada/bertugas di Borneo Selatan di Kotawaringin, nama penguasa perompak itu Mah/Mak/Ma Sarinah dan Mah/Mak/Ma Cirbu, hal yang sama dilaporkan komandan perahu yang kapalnya dirampok, pada akhir-akhir ini pantai Jawa menjadi berbahaya dan tidak aman. “Serangan orang Sekak dari pulau Belitung dan pulau Lepar sebagai “perompak” telah memberikan alasan untuk mengirimkan ke pulau ini beberapa Kapal Uap Borneo, Unrust dan Etna. Memang perahu-perahu perang tidak digunakan untuk menghukum para pelaku pidana ini, tetapi informasi telah diperoleh mengenai kondisi di pulau-pulau ini yang dengan kelemahan kita dianggap sangat penting” (Algemeen Verslag Der Residentie Banka Over Het Jaar 1850, Bundel Bangka No. 41). Untuk mencegah Depati Amir mendapat bantuan dari pribumi Bangka Orang Laut, Orang Sekak, Residen Belanda meminta bantuan Mas Arus Muhammad, kepala Kepulauan Lepar pada waktu itu untuk mempengaruhi orang-orang Sekak agar tidak membantu Depati Amir. 

Sementara itu diantaranya orang-orang Tionghoa yang berjuang dan ambil bagian membantu Amir dalam pemberontakan dan ditetapkan bersalah dihukum dengan dibuang ke Ambon, Banda, Banyuwangi, Kupang dan Ternate, diperlakukan sebagai orang hukuman sebagai buruh paksa: Dihukum selama Lima tahun orang-orang Cina, Mim Po, Mintjoe, Tian Djien, Ngoei Koe Tjing, Ngoei Kie Djan dan Ho Akie; selanjutnya dihukum seumur hidup orang-orang Cina: Ko So Soei, Hong Alok, Lie Ngie, Lanang Amo, Kie Tjan atau Kie Tjoan. Catatan sejarah dan kisah perjuangan mereka yang dihukum dengan pembuangan di berbagai wilayah Hindia Belanda hampir tidak terekspose dalam catatan sejarah lokal maupun sejarah nasional dan bagaimana kelanjutan kisah dan kiprah sejarahnya di tempat pembuangan perlu dilakukan kajian lebih intens lagi. 

Perjuangan orang Tionghoa Bangka yang cukup menyita perhatian Pemerintah Hindia Belanda terjadi pada bulan Maret 1899 Masehi atau hampir Lima puluh tahun, setelah perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir atau terjadi pada penghujung abad ke-19 Masehi. Seorang pejuang Tionghoa bernama Liu Ngie melakukan pemberontakan terhadap Pemerintah Belanda di Distrik Kubak (Koba) dan kemudian pemberontakan menjalar ke beberapa distrik lainnya di Pulau Bangka. Pada bulan Februari 1900 Masehi, Liu Ngie tertangkap di Distrik Merawang dan pada Tanggal 11 September 1900 dan Liu Ngie kemudian dihukum mati di Kota Mentok (Pasar Mentok). Liu Ngie yang melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda dengan melakukan perampokan terhadap parit-parit penambangan Timah dan hasil rampasannya dibagikan kepada pribumi Bangka dan orang Tionghoa yang menderita (semacam bandit sosial). Pemberontakan Depati Amir dan pemberontakan Liu Ngie menambah deretan panjang bagaimana bersatunya pribumi Bangka dengan pendatang dalam hal ini dengan orang Tionghoa, terutama dengan peranakan Tionghoa Bangka. Walaupun pemberontak bergerak melewati kampung-kampung di Pulau Bangka, tetapi tidak membahayakan penduduk setempat (dikatakan mereka membayar apa yang mereka ambil). Tidak terjadi konflik antar etnis antara pemberontak Tionghoa dengan orang pribumi penduduk kampung, tampaknya penjajah Belanda dijadikan sebagai musuh bersama pribumi Bangka dan orang Tionghoa.

Perasaan senasib sepenanggungan dalam perjuangan dan penderitaan sebagai orang terjajah adalah satu faktor penting yang memperkuat hubungan antar etnik di Pulau Bangka yang kemudian membentuk semangat persatuan.  Selanjutnya sejarah panjang proses asimilasi dan akulturasi budaya pada masyarakat Bangka dan faktor perkawinan campuran memperkuat hubungan antar etnik di Pulau Bangka semakin menguat dan mengkristal membentuk Masyarakat Bangka. Perkawinan antara orang Tionghoa dengan orang pribumi di Bangka merupakan hal yang biasa, malah ada anggapan, bahwa orang Cina Bangka sekarang adalah keturunan perempuan pribumi Bangka karena pada waktu orang-orang Cina datang ke Pulau Bangka sebagai pekerja di tambang-tambang Timah (parit), mereka tidak membawa anak dan istri. Dalam bahasa Cina setempat dikenal istilah mencari ”Fanto” yang berarti mencari teman hidup atau pasangan hidup, yaitu perempuan pribumi Bangka. Sepanjang abad ke-19 Masehi, orang Eropa di Bangka mengulangi pernyataan, bahwa perempuan Tionghoa di Bangka sebenarnya adalah keturunan campuran dari perempuan Bangka dan laki-laki Tionghoa. Seorang kuli mengumpulkan sejumlah uang kemungkinan memilih untuk “mengawini” perempuan setempat. Sejumlah pandangan tentang kemudian hubungan dapat diperoleh dari laporan van den Bogaart Tahun 1803, menurut laporan itu orang setempat yang tinggal dekat pertambangan dan perempuan penjual barang-barang kecil kebutuhan harian kepada para kuli, lambat laun, anak perempuan dari percampuran ini dapat kawin juga (Heidhues, 2008:157). Tidaklah berlebihan dapat dikatakan, bahwa Masyarakat Bangka terbentuk dari Pribumi Bangka Orang Darat dan Orang Laut, Orang Melayu dari berbagai wilayah dan dengan orang Cina.

Terkait jumlah orang-orang Cina pekerja tambang di pulau Bangka dapat dipelajari dari data penduduk yang disampaikan residen Inggris di Bangka M.H. Court, diakhir masa kekuasaan Inggris atau pada tahun awal masa kekuasaan Hindia Belanda di pulau Bangka Tahun 1817 Masehi, dijelaskan bahwa, jumlah penduduk pulau Bangka sebesar 13.413 jiwa, terdiri dari Bankanesen (pribumi Bangka) sebesar 5.751 jiwa, Malajen (Melayu) sebesar 3.011 jiwa dan Chinesen (China) sebesar 4.651 jiwa. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan, bahwa penduduk pulau Bangka orang Cina menempati urutan kedua terbesar di pulau Bangka yaitu sebesar 34,68 persen dari keseluruhan penduduk Pulau Bangka masa itu.

Setelah perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir berakhir pada Tahun 1851 Masehi, terjadi perubahan besar pada berbagai aspek kehidupan masyarakat di pulau Bangka. Keadaan penduduk di pulau Bangka digambarkan oleh Franz Epp dalam bukunya, Schilderungen aus Hollandisch-Ostinden, Heidelberg, J.C.B. Mohr, 1852, halaman 209. Buku yang diterbitkan pada Tahun 1852 Masehi atau setelah berkecamuknya peperangan memuat tabel statistik (statistische verhaltnisse) tentang kondisi penduduk Banka pada Tahun 1848 Masehi. Dalam tabel statistik dinyatakan jumlah total penduduk pulau Banka sebesar 41.246 jiwa terdiri dari Bankanesen (pribumi Bangka) 26.291 jiwa, Melajen (Melayu) 4.903 jiwa, Chinesen (China) 10.052 jiwa. Penduduk pulau Banka mendiami 482 kampung di Delapan distrik yaitu Muntok, Jebus, Blinju, Sungiliat und Marawang, Pankalpinang, Sungiselan, Koba dan Toboaly. Dari tabel statistik tersebut jumlah penduduk Chinesen (China) sebesar 24,40 persen atau menempati urutan kedua setelah pribumi Bangka atau Bankanesen yang meliputi 63,74 persen dari penduduk pulau Bangka. Tingginya jumlah penduduk China di pulau Bangka dikarenakan terjadinya perkawinan campuran dengan pribumi Bangka yang kemudian melahirkan orang China Peranakan di pulau Bangka (***/Habis)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: