Ngembaruk "Murok Jerami"
Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan- FOTO: Ilust babelpos.id-
Kegiatan ngetem tidak hanya dilakukan oleh orangtua saja melainkan dilakukan pula oleh bujang dan dayang. Kesempatan seperti ini biasanya dimanfaatkan oleh bujang dan dayang untuk saling kenal mengenal dan mencari jodoh.
Pada hari yang telah ditentukan oleh pak Tue untuk memulai ngetem acarapun dimulai dengan membawa segala perlengkapan berupa pisau, kiding dan tuluk. Petikan pertama dilakukan oleh pak Tue kemudian diikuti oleh yang lain.
Biasanya para datuk (sebutan untuk orangtua yang dihormati) menasehati, dalam melakukan panen agar padi yang dipanen jangan sampai banyak yang rontok berserakan atau jatuh ke tanah. Bila rontok atau jatuh ke tanah harus cepat dipungut lalu dimasukkan ke dalam kiding, bila isi kiding sudah penuh padi dikumpulkan ke dalam tuluk, cara meletakkan padi hasil panenan jangan diempeh (dihempas) karena kuatir semangat padi terganggu atau hilang.
Perlakuan terhadap hasil panen sangat diutamakan mengingat hasil yang diperoleh merupakan cadangan pangan selama setahun, kemudian semangat padi tetap terjaga agar padi yang dipanen tidak hampa serta untuk bibit padi tahun berikutnya.
Kegiatan ngetem akan berakhir menjelang sore hari yang ditandai dengan pak Tue menyimpulkan tiga rumpun jerami dalam satu ikatan sebagai tanda batas antara yang sudah diputik (dipanen) dengan yang belum diputik.
Hasil panen yang diperoleh pada siang hari, malam harinya diirik atau digeser dengan menggunakan kaki untuk memisahkan bulir padi dengan tangkainya, kemudian diungam, yaitu pemisahan tangkai padi dengan bulir padi dengan cara mengangkat tangkai padi. Tangkai yang tidak ada lagi padinya dibuang ke tanah.
Keesokan harinya hasil padi yang telah diirik dan diungam dijemur di atas tikar purun yang terbuat dari anyaman daun mengkuang dan dijaga agar jangan dimakan ayam atau burung dan ditunggu agar semangat padinya tidak hilang.
Setelah dua hari dijemur biasanya pada malam hari padi tersebut sudah dapat ditutuk (ditumbuk) dalam lesung di atas pelanter. Cara menutuk padi dapat dilakukan hendirik (sendirian), tapi bila tidak memungkinkan dilakukan sendirian, harus ditambah dengan beberapa orang lagi yang disebut besaoh nutuk.
Para gadis (dayang) sering mengajak temannya menumbuk padi secara bersama-sama pada malam hari. Masing-masing gadis membawa lima gantang padi atau lebih. Pada malam hari di seluruh desa tampak cahaya lampu pelita minyak tanah berkelip-kelip di halaman atau beranda rumah yang ada kelompok besaoh nutuk. Kelompok besaoh nutuk ini akan berpindah-pindah ke rumah gadis-gadis lainnya bila gilirannya telah tiba.
Gerakan menutuk padi menimbulkan bunyi yang menarik: ”tang, tung, tang, tung, tang, tung”, bila penutuk ditambah seorang lagi, maka tambah ramai lagi bunyi lanting, bila ditambah seorang lagi menjadi empat orang, bukan main ramainya ”tang, tung, tang, tung, tang, tung, tang, tung” setelah dihitung dalam satu menit mencapai lima puluh kali bunyi: ”tang, tung, tang, tung, tang, tung” dan dalam waktu tidak begitu lama, padi hasil putik pertama tadi selesai ditumbuk kemudian ditampik (ditampi) dan dipilih antanya (sekam). Hasil panen padi yang lain setelah kering dijemur disimpan untuk cadangan pangan selama setahun di satu wadah yang disebut Perges, kemudian perges yang berisi padi diletakan di dalam rumah, biasanya di bawah tempat tidur karena masyarakat Bangka tidak mengenal lumbung padi.
Kegiatan berikutnya dari beume adalah Ngetep Nasik Baru yaitu proses menyiapkan makanan dari hasil panen pertama yang disebut nasi baru putik hari pertama. Sebagai lauk pauk biasanya berupa ikan dalam sangkar yaitu ikan Tapa, ikan Kelesak (arwana), ikan Baung, ikan Kiung, ikan Arun, Udang Galah (udang Satang), hasil buruan binatang seperti daging Pelanduk, daging Napo, daging Kijang dan daging Rusa.
Pada masa lalu satu keluarga akan kembali mengolah bekas lahan umenya, setelah berpindah kurang lebih sepuluh kali. Dalam sistem pertanian ini rata-rata setiap keluarga membutuhkan cadangan lahan hutan seluas 20 sampai 40 hektar. Bekas ume biasanya telah tumbuh kembali menjadi hutan sekunder yang dipenuhi pohon cukup besar. Lahan tersebut kemudian dianggap sudah cukup subur untuk dibuka kembali menjadi ume. Selain itu lahan bekas ume juga digunakan masyarakat untuk menanam lada dan karet.
Orientasi ekonomi rumah tangga masyarakat adalah pada pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Dalam situasi yang normal dengan jumlah penduduk relatif kecil dan lahan tersedia cukup luas, maka sistem ini cukup baik dipandang dari segi kelestarian alam maupun dari sudut pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Orang Bangka memiliki usaha yang lain yaitu kebun lada dan karet. Kebun lada dan karet merupakan pengembangan dari ume berpindah menjadi kebun milik pribadi.
Hasil dari kegiatan bekebun sahang (bertanam lada) dan ngaret (menoreh getah) memungkinkan setiap keluarga dapat memperoleh uang tunai. Harga getah karet dan lada sangat fluktuatif dan ditentukan oleh perimbangan kekuatan permintaan dan penawaran dalam pasar pada tingkat regional. Bagi masyarakat yang menanam lada dan karet sangat membantu karena disaat harga lada meningkat mereka tidak menyadap karet dan apabila harga lada murah, maka masyarakat kembali menyadap karet.***
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: