'Buzzer' yang tak Pernah Move On?
Syahril Sahidir - CEO Babel Pos Grup--
Oleh: Syahril Sahidir - CEO Babel Pos Grup
GELAR Pilkada & Pemilu jelas sudah, yaitu 2024. Tahapan juga sudah dimulai.
Dan artinya lagi, Pilgub, Pilwako, serta Pilbup --seluruh Kabupaten--, plus Pilpres dan Pileg --DPR RI, DPD, serta Pileg DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota digelar serentak di tahun 2024.
Sementara, kekuasaan di pemerintahan pusat tetap berjalan.
Kita abaikanlah soal mimpi sebagian dari mereka untuk 'memanjang-manjangkan' kekuasaan, mimpi menunda-nunda Pilkada atau Pemilu. Biarlah itu hanya mimpi mereka-mereka.
Pertanyaan mendasar sekarang ini, mengapa buzzer masih dipelihara? Karena sesungguhnya para buzzer inilah dengan pemahaman mereka yang kadang dangkal meski sok tahu, justru menjadi pemecah belah anak negeri. Para buzzer inilah kadang yang menempatkan dua anak negeri ini hanya di 2 sisi. Yaitu Cebong dan Kadrun (Kadal Gurun).
Akibatnya menjadi miris. Siapa yang kritis terhadap pemerintah, langsung dicap 'kadrun'. Tak mau kalah, siapa yang memuji dan mendukung kebijakan pemerintah langsung dimasukkan kelompok 'Cebong'.
Lalu, bagaimana dengan anak negeri yang berada di posisi objektif? Padahal kalau boleh jujur justru keompok ini paling banyak?
Haruskah mereka dicap 'kadrun' ketika mereka mengkritisi kebijakan pemerintah kritis soal pernyataan politisi yang ada di lingkar kekuasaan yang meminta Pemilu ditunda atau kekuasaan diperpanjang? Sementara di saat yang sama, kelompok yang dinilai masuk 'cebong' justru memilih diam atau membela?
Tapi, kalangan kelompok objektif ini sangat membela ketika ada seseorang yang 'mengejek' Ibu Jokowi yang dengan kesederhanaannya mendampingi Ibu Negara Korea Selatan?
Bahkan kalangan objektif ini pula yang menyatakan justru bangga dengan gaya tampil Ibu Negara yang tetap menonjokan warna Indonesianya, meski berdampingian dengan ibu negara manapun. Apakah mereka dibilang 'kadrun' yang menjadi 'cebong'.
Kalau boleh jujur, begitu besar dosa yang ditanggung para pengguna buzzer itu yang sudah nyata-nyata tak objektif lagi. Analisa-analisa yang justru sok tahu --hingga terbukti salah-- tak malu-malu mereka tampilkan. Kadang kita berpikir, apakah mereka ini hidup sendiri tanpa anak, tanpa istri, tanpa saudara? Kalau memang semua itu ada, apakah saudara, anak, istri, serta kerabatnya tak merasa malu punya keluarga yang demikian? Hidup dari pembayaran-pembayaran penghujatan dan narasi yang penuh dosa?
Selain itu, mereka juga menjadi pemecah anak negeri.
Alangkah baiknya, hentikan semua langkah-langkah menggunakan buzzer, biarlah semua berjalan sesuai keadaan. yang kritis dan objekti akan tetap ada.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: