Batin Tikal Pejuang Dari Kampung Gudang (Bagian Dua)

Batin Tikal Pejuang Dari Kampung Gudang (Bagian Dua)

Oleh: Dato’Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung, Penerima Anugerah Kebudayaan

SEJUMLAH pos militer Belanda yang dimaksudkan diserang Bajak laut dan rakyat Bangka yang berada di pesisir Barat Laut pulau Bangka adalah Pos militer Belanda yang berada di Toboali, Bangkakota, Gudang dan Kotaberingin (Kotawaringin). 

Perjuangan bersenjata yang dilakukan rakyat Bangka dipimpin oleh Depati Bahrin dimulai dengan penyerangan terhadap pos militer Belanda di pesisir pantai Toboali (sekarang Benteng Toboali) dan tiga kali serangan terhadap pos militer Belanda di Jebus (pesisir Barat Laut pulau Bangka), serta penyerangan terhadap pasukan militer Belanda di daerah Gudang. Tokoh-tokoh pemimpin perlawanan rakyat Bangka yang memimpin perlawanan di samping Depati Bahrin adalah Batin Tikal di Gudang dan Demang Singayudha serta Juragan Selan di Kotaberingin. 

Puncaknya pada tanggal 14 November 1819, atas perintah Depati Bahrin, residen Belanda Smissaert dibunuh dalam satu penyergapan dipimpin oleh Demang Singayudha dan Juragan Selan di dekat sungai Buku, perbatasan antara Desa Zed dan Desa Puding. Maka di dalam waktu ini tempoh jadi residen Bangka tuan Smitsar kembali dari Pangkal Pinang jalan darat lewat di tanah Jeruk dimana dekat kampung Puding. 

Di situ suruhan dipati Barin dengan demang Singayudha bunuh itu tuan residen Bangka nama tuan Smitsar dan kepalanya batin Tikal dari Bangka Kota bawa kasihkan kepada sultan Palembang (Wieringa, 1990:122). 

Batin Tikal menyampaikan kepada sultan agar membantu mereka berperang melawan Belanda, akan tetapi sultan Palembang tidak dapat membantu karena pada saatbersamaan juga sedang berperang. Akan tetapi sultan berjanji membantu dengan menaikkan harga beli Timah yang dijual ke sultan.

Pasukan Belanda yang berkedudukan di Muntok dan Pangkalpinang memperkirakan, bahwa pusat kekuatan Bahrin dan pasukannya yang dikatakan sebagai pasukan bajak laut (zeerovers) tersebut berkedudukan di Koeboebangka (Kotabangka) atau Bangkakota yang berada di tengah-tengah pesisir Barat pulau Bangka. 

Dalam peperangan Depati Bahrin beserta pasukannya, memang selalu berpindah-pindah tempat dengan taktik gerilya, dari Bangkakota, Kotawaringin, Jeruk dan Menareh/Mendara. 

Menurut laporan A. Meis, Depati Bahrin lebih senang tinggal di Mendara/Menareh dan tempat berkumpul bajak laut. (Arsip Nasional (ARNAS-RI) Arsip Daerah Palembang, no.67...hlm.125-169). 

Koeboebangka (Kotabangka) atau Bangkakota yang kemudian disebut Belanda dengan Pankal Kotta markas tempat Depati Bahrin, Batin Tikal, Juragan Selan dan tokoh-tokoh pejuang Bangka lainnya, memang menjadi lokasi yang strategis untuk “kubu” atau “kota” (benteng pertahanan) bagi perlawanan rakyat Bangka melawan pasukan kolonial Belanda. 

Keletakan strategisnya Bangkakota digambarkan dengan cukup jelas oleh residen Inggris untuk Palembang dan Bangka M.H. Court: “Beberapa mil Barat Laut dari gunung Permisan merupakan muara atau pintu masuk ke sungai Banca Cotta. Sungai ini walaupun tidak sangat lebar, namun merupakan sungai yang bagus untuk dilewati karena lebar sungainya sama besar dari muara sampai ke kota (benteng), yang terletak sembilan mil dari muara sungai. 

Bangkakota memiliki jumlah populasi penduduk sebesar seratus tujuh puluh orang, tampaknya telah jauh lebih banyak dari sebelumnya ketika bajak laut merampok penduduk, dan mereka juga dibawa oleh orang Palembang, dengan dalih untuk membayar utang jasa. 

Kampung di sekitar Banca Cotta tidak memberikan banyak harapan dalam menghasilkan Timah. Komoditas seperti tikar, madu, dan lilin adalah barang-barang dagangan orang-orang Bangkakota. 

Seorang demang ditugaskan mengontrol wilayah ini dan kewenangannya meliputi lima Campoongs (kampung) dan dengan jumlah populasi penduduk sekitar seratus lima puluh orang” (Court, 1821:211,212).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: