Cerita Alan Efendhi: Dulu Tak Diharapkan Jadi Petani, Kini Sukses Geluti Bisnis Lidah Buaya

Cerita Alan Efendhi: Dulu Tak Diharapkan Jadi Petani, Kini Sukses Geluti Bisnis Lidah Buaya

Alan Efendhi--

Di tengah lahan tandus Gunungkidul yang sering dianggap tak ramah bagi kehidupan, tumbuh sebuah cerita tentang keberanian dan harapan. Dari tanah kering itulah lahir kisah Alan Efendhi, seorang anak petani yang sejak kecil justru diminta menjauh dari dunia pertanian. 

Ironisnya, pilihan hidup yang dulu dihindari kini justru menjadikan namanya dikenal luas sebagai petani sekaligus inovator aloe vera yang sukses memberdayakan masyarakat desa.

Alan Efendhi, 37 tahun, hari ini berdiri sebagai sosok inspiratif. Ia bukan hanya membuktikan bahwa tanah gersang bisa melahirkan peluang emas, melainkan juga menunjukkan bahwa mimpi sederhana untuk dekat dengan orang tua dapat menjelma menjadi bisnis besar yang menghidupi banyak orang. 

Atas kiprahnya mengembangkan produk minuman berbahan lidah buaya dan mengajak ratusan petani lokal bergabung, Alan diganjar Apresiasi SATU Indonesia Award 2023 bidang Kewirausahaan.

Tidak Pernah Diharapkan Jadi Petani

Kisah Alan dimulai dari sebuah keluarga sederhana di Gunungkidul. Ayah, ibu, bahkan kakek-neneknya adalah petani. Namun pengalaman hidup keluarganya membuat satu pesan sederhana melekat di benak Alan sejak kecil: jangan jadi petani. 

Mereka tahu betul bahwa bertani di Gunungkidul jarang memberi hasil yang menyejahterakan. Lahan kering, ketergantungan pada hujan, serta minimnya akses membuat banyak petani memilih kerja serabutan demi bertahan hidup.

“Saya adalah anak yang tidak diharapkan menjadi petani,” kenang Alan dalam webinar Workshop Menulis Feature & Bincang Inspiratif Satukan Gerak Terus Berdampak yang digelar Astra, Jumat (12/9/2025).

Alih-alih bertani, orang tuanya mendorong Alan untuk merantau dan bekerja di pabrik. Dengan bekal ijazah SMK jurusan otomotif, Alan berangkat ke Jakarta, membawa harapan sederhana: bisa menjadi pekerja tetap dan membahagiakan keluarga.

Jalan Terjal di Ibu Kota

Namun kenyataan justru berkata lain. Tidak ada satu pun pabrik yang bersedia menerimanya. “Alhamdulillah, tidak ada satu pabrik yang mau menerima saya menjadi karyawannya,” ujarnya sambil tersenyum getir.

Alih-alih menyerah, Alan mengais rezeki dengan bekerja serabutan. Tahun 2007–2008 ia menjalani hidup sebagai buruh serba bisa. Dari hasil kerja itu ia menabung untuk melanjutkan kuliah. Meski akhirnya lulus, bayangan bekerja sebagai montir tetap membuatnya pesimis. “Kalau jadi montir, yang lebih jago banyak,” ucapnya.

Di tengah hiruk pikuk ibu kota, kerinduan pada orang tua dan kampung halaman semakin menekan hatinya. Pulang kampung setahun sekali terasa tak cukup. Saat usia orang tuanya makin menua, keinginan Alan untuk berada di sisi mereka semakin kuat.

“Saya ingin bekerja dekat orang tua. Kalau pulang kampung, saya bisa kerja apa?” pertanyaan itu terus berulang di kepalanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: