Menimbang Rasionalitas dan Risiko Pembangunan PLTN di Pulau Gelasa

Menimbang Rasionalitas dan Risiko Pembangunan PLTN di Pulau Gelasa

Ujang Supriyanto --Foto: ist

Oleh: Ujang Supriyanto

Ketua Simpul Babel, Putera Kelahiran Kepulauan Pongok

___________________________________________

Diskursus mengenai pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Pulau Gelasa, Kabupaten Bangka Tengah, kembali mencuat ke ruang publik. Investor melalui PT Thorcon Power Indonesia gencar melakukan pendekatan politik maupun sosial, sembari menawarkan PLTN sebagai jawaban atas kebutuhan energi masa depan. Namun, jika ditelaah secara ilmiah dan berbasis kepentingan jangka panjang, proyek ini menimbulkan lebih banyak pertanyaan fundamental daripada jawaban.

Aspek Geografis dan Lingkungan

Pulau Gelasa terletak di Selat Gaspar, kawasan perairan dengan arus laut kuat yang menghubungkan Bangka dengan Belitung. Secara ekologis, wilayah ini dikelilingi ekosistem pesisir yang vital: mangrove, terumbu karang, dan padang lamun. Keanekaragaman hayati tersebut menjadi basis ekonomi nelayan tradisional di Bangka Tengah, Bangka Selatan (Kepulauan Pongok), hingga Belitung (Kepulauan Selat Nasik).

Pembangunan PLTN pada pulau kecil berisiko tinggi karena keterbatasan daya dukung lingkungan. Dalam literatur ekologi pulau, dikenal fenomena “island vulnerability”: pulau-pulau kecil lebih rentan terhadap perubahan lingkungan karena sistem ekologinya tidak memiliki kapasitas pemulihan sebesar daratan luas. Jika terjadi insiden kebocoran limbah radioaktif—meski dalam skala rendah—arus laut dapat dengan cepat menyebarkan kontaminan ke wilayah pesisir lain, mengancam sumber pangan laut dan kesehatan masyarakat lintas kabupaten.

Aspek Risiko dan Keselamatan

Sejarah nuklir dunia mengajarkan bahwa teknologi ini memiliki potensi “low probability but high impact disaster.” Kecelakaan di Fukushima (2011) membuktikan bahwa bahkan negara dengan standar teknologi tinggi pun tidak mampu sepenuhnya meniadakan risiko. Pulau Gelasa yang relatif terpencil menambah kompleksitas: akses evakuasi terbatas, infrastruktur darurat minim, serta kapasitas medis lokal tidak siap menghadapi bencana radiasi.

Dari perspektif kebijakan energi, risiko yang bersifat irreversible ini tidak sebanding dengan manfaat yang ditawarkan. Energi alternatif seperti surya, angin, maupun arus laut jauh lebih kompatibel dengan karakteristik geografis Bangka Belitung yang berupa kepulauan tropis.

BACA JUGA:Penertiban Timah: Tegas pada Mafia, Wajib Humanis pada Rakyat

BACA JUGA:Istana yang Berpesta, Rakyat yang Merana: Ironi HUT RI ke-80

Aspek Sosial-Ekonomi

Selain risiko ekologis, PLTN juga berpotensi menimbulkan dampak sosial berupa “stigma nuklir.” Produk perikanan dari perairan sekitar Gelasa, Pongok, hingga Belitung dapat kehilangan daya saing di pasar akibat persepsi bahaya radiasi, meskipun secara teknis aman. Hal ini akan menghantam ekonomi nelayan kecil dan memperlebar jurang ketidakadilan sosial.

Lebih jauh, pariwisata bahari yang menjadi salah satu sektor unggulan Babel juga terancam. Wisatawan cenderung menghindari destinasi dengan citra kedekatan pada fasilitas nuklir. Maka, alih-alih memperkuat diversifikasi ekonomi, PLTN justru berpotensi menurunkan daya tarik investasi sektor lain.

Kesimpulan: Rasionalitas Energi dan Keadilan Antar-Generasi

Dalam teori pembangunan berkelanjutan, keputusan investasi harus memperhatikan tiga aspek: ekonomi, ekologi, dan sosial. PLTN di Pulau Gelasa mungkin menawarkan kepastian suplai energi, tetapi dengan ongkos ekologis dan sosial yang terlalu besar. Lebih bijak bila energi Babel diarahkan pada pengembangan renewable energy yang aman, terdesentralisasi, dan sesuai dengan karakteristik kepulauan.

Babel sudah menyimpan luka panjang akibat eksploitasi tambang timah yang meninggalkan kerusakan lingkungan masif. Membangun PLTN di pulau kecil sama saja dengan memperbesar risiko ekologis yang sifatnya transgenerasional. Kita tidak boleh mengulangi kesalahan lama dalam wujud baru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: