Desentralisasi Pendidikan Sebagai Strategi Transformasi Sistemik Pendidikan Nasional

Desentralisasi Pendidikan Sebagai Strategi Transformasi Sistemik Pendidikan Nasional

Handika Yuda Saputra --Foto: ist

Oleh: Handika Yuda Saputra, S.Pd., M.Pd

Sekretaris Umum DPD IMM BABEL

___________________________________________

Desentralisasi pendidikan merupakan suatu kebijakan yang memindahkan sebagian kewenangan pengambilan keputusan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, termasuk satuan pendidikan. Dalam konteks negara yang menganut sistem pemerintahan terdesentralisasi seperti Indonesia, kebijakan ini merefleksikan semangat otonomi daerah yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan responsivitas pelayanan publik, termasuk dalam bidang pendidikan. Namun demikian, desentralisasi pendidikan tidak hanya sebatas pemindahan otoritas administratif, melainkan juga merupakan instrumen strategis untuk memperkuat partisipasi masyarakat, memberdayakan komunitas lokal, serta mengakomodasi keragaman budaya, sosial, dan geografis yang kompleks dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Indonesia telah mengarahkan tata kelola pendidikan ke arah yang lebih desentralistik. Pemerintah daerah, khususnya kabupaten/kota, diberi tanggung jawab dalam mengelola pendidikan dasar dan menengah, termasuk perencanaan program, penganggaran, serta pengawasan pelaksanaan pendidikan di wilayahnya masing-masing. Selain itu, lahirnya kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) turut memperkuat praktik desentralisasi di tingkat satuan pendidikan, dengan mendorong otonomi kepala sekolah, peningkatan peran komite sekolah, serta partisipasi orang tua dan masyarakat dalam proses pendidikan.

Dalam kerangka teoritik, desentralisasi pendidikan didasarkan pada asumsi bahwa pemerintah daerah lebih mengetahui kebutuhan, potensi, dan tantangan lokal dibanding pemerintah pusat, sehingga mereka dapat merancang dan melaksanakan program pendidikan yang lebih kontekstual dan relevan. Prinsip “subsidiarity” menjadi landasan normatif dari pendekatan ini, yaitu bahwa keputusan publik sebaiknya diambil oleh otoritas yang paling dekat dengan masyarakat selama mereka memiliki kapasitas yang memadai. Oleh karena itu, desentralisasi pendidikan diharapkan mampu mendorong inovasi lokal, mempercepat perbaikan kualitas layanan, serta memperkuat akuntabilitas publik terhadap hasil pendidikan.

Namun dalam praktiknya, pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan struktural maupun kultural. Salah satu persoalan mendasar adalah disparitas kapasitas antar daerah, baik dalam hal sumber daya manusia, kelembagaan, maupun finansial. Banyak pemerintah daerah belum memiliki aparatur yang kompeten dalam perencanaan dan pengelolaan pendidikan, sehingga desentralisasi yang seharusnya membawa perbaikan justru memperbesar kesenjangan antar wilayah. Ketimpangan ini diperparah oleh alokasi dana pendidikan yang belum proporsional dan tidak selalu berdasarkan kebutuhan riil di lapangan. Sebagai contoh, daerah-daerah yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) rendah cenderung mengalami kesulitan dalam membiayai program pendidikan yang berkualitas.

BACA JUGA:TPP TUNJANGAN PENYELAMAT PEREKONOMIAN ASN

BACA JUGA:Ketika Dunia Maya Jadi Ladang Kolonialisme Baru: Cyber Crime Sebagai Alat Kuasa Global

Lebih jauh, desentralisasi pendidikan juga berisiko menimbulkan fragmentasi sistem dan melemahnya standar nasional jika tidak diimbangi dengan penguatan regulasi pusat. Ketiadaan mekanisme koordinasi dan supervisi yang efektif antara pusat dan daerah dapat menyebabkan inkonsistensi dalam implementasi kurikulum, rekrutmen guru, hingga evaluasi pembelajaran. Dalam konteks ini, desentralisasi tidak boleh dipahami sebagai pelepasan tanggung jawab oleh pemerintah pusat, melainkan sebagai redistribusi fungsi yang disertai dengan dukungan, pengawasan, dan pengendalian mutu yang berkesinambungan.

Selain itu, tantangan lain yang sering diabaikan adalah resistensi kultural dan birokratis terhadap perubahan. Banyak aktor pendidikan di daerah masih memiliki mentalitas sentralistik, di mana inisiatif lokal dianggap tabu dan ketergantungan terhadap instruksi pusat tetap dominan. Hal ini menghambat lahirnya kreativitas serta inovasi dalam tata kelola pendidikan. Di sisi lain, praktik politik lokal yang tidak sehat juga dapat menyusup ke dalam sektor pendidikan, seperti politisasi jabatan kepala sekolah, penyelewengan anggaran BOS, serta intervensi terhadap rekrutmen guru dan tenaga kependidikan.

Meskipun demikian, desentralisasi pendidikan tetap memiliki potensi besar jika dilaksanakan dengan pendekatan sistemik dan partisipatif. Salah satu strategi yang dapat ditempuh adalah penguatan kapasitas kelembagaan di tingkat daerah dan sekolah. Pemerintah pusat harus berperan aktif dalam menyediakan pelatihan teknis, pendampingan manajerial, serta instrumen perencanaan berbasis data untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan di tingkat lokal. Program seperti Sekolah Penggerak dan Platform Merdeka Mengajar merupakan langkah positif dalam mengarusutamakan pengembangan kapasitas internal sekolah dan mendorong pembelajaran yang kontekstual.

Dalam aspek pembiayaan, desentralisasi pendidikan harus diimbangi dengan penerapan kebijakan fiskal yang adil dan afirmatif. Pemerintah pusat perlu memastikan bahwa daerah-daerah tertinggal mendapatkan alokasi anggaran yang memadai untuk mengejar ketertinggalan pendidikan. Penguatan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) afirmatif berbasis indeks kemiskinan dan ketertinggalan daerah menjadi salah satu alternatif untuk mendorong pemerataan akses dan kualitas pendidikan. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana publik harus ditingkatkan melalui pengawasan partisipatif serta digitalisasi sistem pelaporan dan evaluasi.

Penting pula untuk menumbuhkan budaya tata kelola pendidikan yang demokratis dan inklusif. Partisipasi masyarakat, terutama orang tua, tokoh masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan, harus diintegrasikan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan pendidikan di daerah. Komite sekolah harus diberdayakan bukan hanya sebagai formalitas administratif, tetapi sebagai mitra strategis dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip good governance yang menempatkan transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas sebagai pilar utama pembangunan sektor publik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: