Mempertanyakan Kekukuhan KPU Bangka Mem-TMS-kan Pasangan Rato-Ramadian

Ujang Supriyanto --Foto: ist
Oleh: Ujang Supriyanto
Ketua Simpul Babel
___________________________________________
Hari pertama mediasi antara pasangan calon (paslon) Rato Rusdiyanto – Ramadian dengan KPU Bangka yang digelar oleh Bawaslu ternyata berakhir tanpa hasil. Bukan karena substansi perkara tidak bisa dijelaskan, tetapi karena ada satu pihak yang terus-menerus bersembunyi di balik dalih teknis, tanpa punya cukup dasar hukum yang kokoh untuk membela keputusannya. Siapa lagi kalau bukan KPU Bangka.
Mediasi yang seharusnya menjadi forum dialog dan klarifikasi data justru menjadi ajang kejumudan kelembagaan. KPU, sebagai penyelenggara pemilu, gagal menjelaskan dengan runtut dan ilmiah alasan mengapa mereka menetapkan pasangan Rato–Ramadian sebagai Tidak Memenuhi Syarat (TMS). Bahkan, dalam pemberitaan di berbagai media, KPU Bangka tidak mampu menjawab secara rinci mengenai proses verifikasi dokumen ijazah yang menjadi inti polemik ini. Lebih miris lagi, tidak ada argumentasi hukum yang presisi dari pihak KPU yang bisa menjelaskan metode pengambilan keputusan mereka.
Ini patut dipertanyakan: Apakah keputusan TMS ini murni administratif atau ada faktor non-teknis yang menyusup ke dalam ruang putusan?
TMS Bukan Tuduhan Kriminal
Publik harus memahami, bahwa status TMS bukan berarti seseorang bersalah secara pidana. Ia hanyalah status administratif, yang dalam penilaiannya harus berbasis pada dokumen dan prosedur yang objektif. Namun, dalam kasus Rato–Ramadian, publik mencium aroma kesewenang-wenangan. Tim paslon kabarnya telah menyodorkan dokumen klarifikasi dan pembuktian, namun tak satupun dinyatakan layak verifikasi lebih lanjut oleh KPU. Seolah-olah, lembaga itu sudah memutuskan vonis sebelum proses berjalan.
Jika keputusan TMS diambil tanpa ruang konfirmasi yang layak, maka sesungguhnya KPU telah melanggar asas keadilan pemilu. Paslon berhak untuk didengar, hak konstitusionalnya dijamin oleh Undang-undang. Bila mediasi pun hanya dijadikan ritual simbolik tanpa kehendak untuk membuka ruang dialog yang jujur, maka KPU bukan lagi sekadar tidak profesional—tapi juga tidak beretika.
BACA JUGA:Muncul dari Rakyat, Pasangan Rato – Ramadian Penuhi Syarat Maju Pilkada Bangka
KPU Bukan Wasit Tunggal
KPU bukanlah lembaga tertutup yang bisa membuat keputusan sepihak tanpa koreksi. Dalam tata kelola demokrasi, KPU adalah wasit, bukan penguasa. Keputusan mereka harus bisa diuji publik, diuji secara hukum, dan diuji melalui proses pengawasan. Itu sebabnya Bawaslu hadir. Namun jika Bawaslu pun hanya menjadi “pemadam kebakaran” yang sekadar mengulur waktu tanpa keberanian mengambil sikap substantif, maka kita patut khawatir: ada apa sebenarnya di balik Pilkada Bangka 2025?
Apakah ini hanya perkara administrasi, atau sedang terjadi desain politik untuk menghalangi pasangan tertentu melaju dalam kontestasi?
Bahaya Demokrasi yang Dipersempit
Demokrasi lokal sedang dalam ancaman serius. Kegagalan KPU Bangka dalam menjelaskan keputusan TMS ini bukan hanya soal pasangan calon, tapi soal nasib ratusan ribu warga Kabupaten Bangka yang akan kehilangan pilihan politiknya karena satu-dua orang di lembaga penyelenggara tidak paham betul makna keadilan prosedural.
Ini adalah contoh sempurna tentang bagaimana nalar demokrasi dirusak dari dalam oleh ketidakmampuan institusional dan keberpihakan yang terselubung. Jika ini terus dibiarkan, maka Pilkada Bangka tidak lagi menjadi ajang adu gagasan, tetapi ajang eliminasi berdasarkan skenario yang dirancang dalam ruang gelap.
Desakan Moral untuk Perbaikan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: