POLITISI LELUCON, KOMEDIAN POLITISI

POLITISI LELUCON, KOMEDIAN POLITISI

Saifuddin --Foto: ist

Trusting, atau kepercayaan memang perlu dibangun di panggung-panggung politik, melalui debat gagasan serta transformasi ide untuk kemudian dikerjakan dikemudian hari, bukan gagasan oplosan serta gagasan “picisan” yang meninabobokan publik. Ini penting saya kira sebagai suatu “progress demokrasi” dalam tatanan politik yang terus berkembang. 

BACA JUGA:MANUSIA & KEHIDUPAN YANG KLISE

BACA JUGA:HANNAH ARENDT, UNTUK DEMOKRASI

Karenanya, perilaku politik menuju Indonesia yang lebih baik sangat dimungkinkan akan tumbuh dan berkembang apabila “etika dan nilai” menjadi mainstream dalam mendorong proses berdemokrasi, bukan “politik etis” atau politik balas budi sehingga “ketidak-benar-an” menjadi “kebenaran” melalui proses yang gelap di tangan penegak hukum yang ada.

Hitam putihnya hukum, menjadi lebih berwarna karena sarat dengan gerakan politik “siapa membela siapa”. Inilah gaya “despotisme politik” yang cendrung mengaburkan warna demokrasi dan politik yang sesungguhnya. Kegelapan hukum menjadi nokhtah hitam bagi pertumbuhan demokrasi. Setelah hukum di bredel lewat “Ghost hand” yang berjubah demokrasi. Ironis. 

Pada fenomena berikutnya, partai politik yang diharapkan menjadi instrument perjuangan atas keterwakilan politik rakyat justru semakin kesini semakin tidak berfungsi terutama dalam proses kaderisasi, sehingga yang muncul adalah “meminang tanpa ta’aruf” sehingga menciptakan berbagai spekulasi publik bahkan yang muncul adalah sentimen negatif.

Politisi lelucon, komedian politisi---itu sah-sah saja dalam demokrasi, karena setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam hukum dan demokrasi. Hanya saja kalau kemudian politik dipenuhi “lawakan”, sehingga perilakunya menjadi lelucon diruang publik. 

Oleh sebab itu, politik jangan melawan “lupa”, ingatan perlu dihadirkan sebagai bagian terpenting dalam proses berpolitik dan berdemokrasi yang baik.

Bukankah demokrasi adalah menyangkut hajat hidup orang banyak? sejatinya suara-suara kemiskinan dari rakyat perlu didengar dan dirasakan. Sebab mustahil kita mampu menegakkan demokrasi tanpa rakyat yang mapan secara ekonomi dan cerdas secara politik. Sebab panggung komedian tentu berbeda dengan panggung politik. 

“Dalam politik, semua berubah, orang-orang menganggap serius komedian, dan para politisi dianggap sebagai lelucon” ---(Will Rogers).

BACA JUGA:JOKOWI & POLITIK THE AGONY OF POWER JEAN BAUDRILLARD

BACA JUGA:Komitmen POLRI Tidak Anti Kritik Bertajuk

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: