POLITISI LELUCON, KOMEDIAN POLITISI

POLITISI LELUCON, KOMEDIAN POLITISI

Saifuddin --Foto: ist

Oleh : Saifuddin

Direktur Eksekutif LKiS (Lembaga Kaji Isu-Isu Strategis)

Penulis Buku ; Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi, Catatan Cacat-anDemokrasi.

Kritikus Politik & Penggiat Demokrasi

___________________________________________

KATA POLITIK tentu tak lazim dikalangan bagi kaum elit, sebab itu sudah menjadi bagian kerangka kerjannya, pemikiran dan aksinya. Panggung politik hampir tak pernah sunyi, selalu riuh, sedikit gaduh, penuh intrik, serta terkadang membawa kita pada ruang komedi.

Yang sesungguhnya ruang komedi bukanlah tempat terbaik bagi politisi untuk memainkan perannya, apatah lagi mentransformasikan gagasannya untuk sebuah kemaslahatan orang banyak.

Panggung komedi hanya bisa menjadi ruang bagi “pelawak” bagi para actor stand up comedy yang dapat mengocok perut dan nurani. Bukan sekadar lawakan biasa tetapi juga terkadang menyeret ke hal-hal yang kritis. 

Yah, politik dalam perspektif sains tentu dipahami sebagai seni bermain. Napoleon Bonaparte dengan metodologi catur dalam pertarungan politiknya.

Hector dan Archilles ditandai dengan ketangkasan memainkan pedang, wonder Woman di tandai dengan ketangkasan memanah dan menunggang kuda.

Politik sebagai seni bukan hanya dipahami sebagai seni memainkan strategi, tetapi politik lebih dipahamkan sebagai sains untuk memberi pengaruh terhadap konstituennnya dengan melalui kampanye serta narasi kepada publik sebagai bagian seni memainkan politik.

Tetapi yang pasti bahwa politik bukanlah “mainan” yang kemudian aktornya cendrung bermain-main, sebab kekuasaan bukanlah kelinci permainan, sebab didalamnya ada Trust (kepercayaan) publik yang diemban sebagai konsekuensi logis dari sebuah keterwakilan politik. 

Dalam sebuah buku yang berjudul “Mengapa Negara Gagal” Why Nations Fail, Awal mula kekuasaan, kemakmuran dan kemiskinan, yang ditulis oleh Baron Acemoglu dengan James A. Robinson, dipersepsikan bahwa suatu bangsa dan negara mengalami kegagalan dalam memberikan jaminan keamanan, peningkatan taraf hidup rakyatnya, perkara kemiskinan dan kemakmuran terabaikan, itu sangat disebabkan karena sikap empaty negara, dan termasuk didalamnya lemahnya institusi-institusi negara termasuk partai politik serta departemen yang dikendalikan negara.

Hal ini sangat disebabkan karena dominasi politik elit yang domain dalam kehidupan kebangsaannya. Institusi-institusi negara satu sama lainnya saling memberi sikap “apriori” serta saling membangun ketidakpercayaan satu sama lain. Aktor politiknya memainkan “drama teatrikal” yang nyaris mengelabui rakyatnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: