Jhohan, Kuasa Hukum Aon: Kejagung Paksakan Nilai Kerugian Rp 300 Triliun di Tipikor Timah
Dr (Cand) Jhohan Adhi Ferdian, S.H.,M.H. --Tengah-- Dalam Jumpa Pers Pagi ini di Pangkalpinang.-screnshot-
BABELPOS.ID.- Adalah Dr (Cand) Jhohan Adhi Ferdian, S.H.,M.H. selaku Managing partners menyatakan terlihat Kejagung seperti memaksakan masuknya kerugian ekologis Rp 271 Triliun, sehingga nilai kerugian dalam kasus dugaan Tipikor timah 2015-2022 menjadi lebih fantastis yaitu Rp 300 Triliun.
Hal itu ia kemukakan dalam jumpa pers pagi ini, 5 Juni 2024 di Pangkalpinang.
Seperti diketahui, Kejagung sudah melakukan pelimpahan tersangka dan barang bukti tahap 2 perkara kasus PT Timah (Persero) Tbk. (TINS) periode 2015-2022 di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan atas nama Thamron Alias Aon, adapun tanggapan kami sebagai berikut ;
''Kami mMenyimak dengan seksama Konfrensi Pers Kejagung RI tanggal 29/05/24 terhadap Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah tahun 2015-2022, dengan nilai tidak main-main, fantastis, mencapai Rp. 300 Triliun. Sebagai sesorang lawyer, kami merasa sangat heran dan bertanya-tanya,'' cetus Jhohan lagi.
Bagaimana tidak, pernyataan pada konfrensi pers tersebut mengartikan terdapat fakta bahwa nilai kerugian negara secara real hanya sebesar Rp. 29.499 Triliun, terdiri dari adanya dugaan harga sewa smelter oleh PT Timah sebesar Rp 2,285 triliun. Yang kedua adalah pembayaran bijih timah ilegal oleh PT Timah kepada mitra tambang PT Timah sebesar Rp 26,649 triliun, tetap nilai yang besar.
BACA JUGA:Kejagung Periksa Adik dan Ipar Sandra Dewi, Serta Eks Plt Kepala ESDM Babel
''Tetapi hal ini justru sangat kecil jika dibandingkan nilai yang digaung-gaungkan pada awal kasus ini dibuka yaitu sebesar Rp. 271 Triliun, Dimana saat itu semua mata tertuju pada Kejagung RI. Nilai Rp. 300 Triliun tersebut rupa-rupanya nilai total dari nilai kerugian Rp. 29.499 Triliun ditambah nilai kerusakan ekologis sebesar Rp. 271 Triliun, sehingga kami menilai masuknya nilai kerusakan ekologis menjadi nilai kerugian negara sangat amat dipaksakan, karena mereka (penyidik) sudah terjebak sejak awal kasus tata niaga komoditas timah ini, yaitu pada nilai yang mereka siarkan sendiri sebesar RP. 271 Trilliun, padahal nilai tersebut dipertanyakan oleh banyak ahli dan pengamat hukum bukan sebagai nilai kerugian negara pada tindak pidana korupsi tersebut,' tegasnya.
Di sisi lain,UU Nomor 31/99 tentang Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20/2001 menyatakan bahwa tindak pidana korupsi sebagai salah satu unsur perbuatan melawan hukum, merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
''Lalu timbul pertanyaan, apakah nilai kerusakan ekologis termasuk nilai kerugian negara dalam tindak pidana tersebut?, saya jawab, bisa, tetapi dengan tanda kutip “Jika dipaksakan” atau dalam dialeg Bangka saya menyebutnya “daripada malu muka alung masukken bai”., kenapa? Sebab pada pasal 1 ayat 22 UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai,'' tugas Jhohan.
BACA JUGA:Tipikor Timah, Kejagung Periksa Pula 2 Pemilik PT SBS
Nilai kerusakan ekologis sebesar RP. 271 Triliun bukan dihitung dari Kerusakan yang diakibatkan dari kasus Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah pada tahun 2015-2022 (7 Tahun), tetapi dihitung berdasarkan kerusakan Bangka Belitung saat ini, artinya kerusakan tersebut telah dimulai jauh sebelum itu, bisa saja pada masa Kerajaan Sriwijaya, Kolonialisme, sampai Kegiatan illegal Mining yang dilakukan oleh hampir mayoritas masyarakat Bangka Belitung saat ini, sangat tidak fair jika kerusakan akibat aktifitas pertambangan yang dilakukan oleh kerajaan Sriwijaya dilimpahkan oleh ke-22 tersangka ini.
''Jika BPKP memasukkan kerusakan ekologis RP.271 Triliun sebagai bagian dari kerugian negara, semestinya BPKP juga menghitung nilai jaminan reklamasi yang telah disetorkan/dibayarkan ke 6 perusahaan smelter tersebut pada kementerian terkait, Pasal 100 UU Nomor 3/2020 menyatakan 1. Pemegang IUP atau IUPK wajib menyediakan dan menempatkan dana Jaminan Reklamasi dan/atau dana Jaminan Pascatambang,' ujarnya.
Menteri dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan Reklamasi dan/atau Pascatambang dengan dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).n dan ketiga Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak melaksanakan
BACA JUGA:Mimpi Buruk Harvey Moeis, Giliran Adik Kandung Diperiksa Kejagung
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: