PEREMPUAN, POLITIK MELAWAN MITOS

PEREMPUAN, POLITIK MELAWAN MITOS

Saifuddin --Foto: ist

Makna panggung tidaklah sama dengan “panggung konser musik” dimana goyangan para penyanyinya terlihat molek dengan solek yang seronok. Tetapi panggung politik adalah haruslah dipandang sebagai arena kontekstasi inferioritas merebut takdir kekuasaan. Walau memang undang-undang politik belum begitu adil bagi kaum perempuan yang membuat regulasi 30 persen keterwakilan politik di parlemen, walau kenyataannya baru mencapai 12 persen, ini tentu tidak sebanding dengan jumlah pemilih perempuan di banding dengan pemilih kaum laki-laki.

BACA JUGA:Pemilu 2024: Aksi dan Asa Generasi Muda Menentukan Arah Politik Indonesia

BACA JUGA:THE POWER OF “TUKANG ULON” DALAM MERESILIENSI KRISIS MINAT BERORGANISASI

Patriarkisme sesungguhnya telah “menghukum perempuan” pada ruang tertentu, sehingga keterwakilan politik menjadi ruang bagi scenario demokrasi agar perempuan tak lebih pada inferior dan streotipe (pelebelan). Pilkada langsung yang dihelar sejak tahun 2005 hingga saat ini, kaum perempuan juga hadir memberi ruang politik, walau yang terpilih jadi pemimpin di daerah masih minim sekali. Ada Atut Gubernur Banten (tersangka korupsi), ada Rita (Bupati Kukar) yang OTT KPK, ada Risma (walikota Surabaya), Indah (Bupati Luwu utara), semua itu menjadi petanda bahwa kaum perempuan pun mengambil peran di arena politik dan kekuasaan.

Bahkan perempuan dalam wilayah tertentu tampil sebagai pejuang seperti Amrech di Euthopia, Malala di Afghanistan, perempuan kecil di film Kami Bersaudara di daratan NTT, bahkan Sumiati gadis sampan di Maros yang berjuang demi mendapatkan keadilan pendidikan. Sehingga panggung dalam analogi politik perempuan tentu hanya dapat segelintir perempuan memilih jalan terjal dalam panggung kekuasaan, walaupun sedikit dipaksa karena geneologi politik yang kebetulan suaminya berkuasa maka istri pun (perempuan) di produksi untuk menjadi politisi walau sesungguhnya sejak awal sang istri hanya sekedar menjadi istri dan perawat bagi anak-anaknya. Lalu, apa yang salah ? tentu jawabannnya adalah perempuan hadir dan memilih panggung politik kewajiban ataukah sekedar tak “menghindar dari irisan politik sang suami”.

BACA JUGA:Kelindan Etika Lingkungan dan Tobat Ekologis dalam Sastra

BACA JUGA:Peran Manajemen Sumber Daya Manusia Dalam Pengembangan Desa Wisata Namang

Fenomena politik demikian begitu sulit di hindarkan mengingat kepentingan politik perempuan “terpaksa” dalam undang-undang dengan jumlah kouta 30 persen. Karenanya, beberapa panggung yang menjadi pilihan perempuan dapat diterjemahkan apakah panggung yang hingar bingar seperti alunan musik dengan segala aroma estotik atau panggung ketegangan sebagaimana di pentas politik yang ada. Kita tunggu bagaimana demokrasi menegasikan perempuan dalam politik.

Superioritas laki-laki atas perempuan bukan berarti perempuan hanya sebatas ruas privat yang selama ini menghukumnya yang tak lebih dari hanya seorang ibu yang hamil, melahirkan, menyusui---tetapi 30 % porsi untuk perempuan di parlemen setidaknya harus di isi oleh kaum perempuan. Artinya, bahwa eksistensi perempuan di ruang demokrasi adalah seperti “melawan mitos” bahwa laki-laki akan mendominasi atas perempuan. Ketidak-adilan perempuan atas UU politik adalah ruang kompetisi bagi perempuan untuk merebut panggung dan kekuasaan.

Jadi tidak mudah bagi perempuan untuk merebut panggung dengan melihat kepemihakan undang-undang pemilu terhadap perempuan. Dalam pemilu 2024 tercatat di KPU 9.918 orang caleg perempuan yang maju berkontekstasi dalam perebutan tahta di politik. Yang selama ini posisi perempuan di parlemen masih kisaran 12 % masih jauh dari tuntutan undang-undang. Dominasi politisi laki-laki masih besar jumlahnya di banding perempuan.

BACA JUGA:Menerima Mahasiswa Internasional di Bangka: Peluang dan Tantangannya

BACA JUGA:Jalan Terjal UMKM Go Ekspor

Ada beberapa faktor kenapa perempuan belum sepenuhnya tertarik dalam politik ; (1) budaya patriarkhis yang mengkungkung perempuan sebagai ibu rumah tangga, seorang ibu dan pengasuh rumah tangga. (2) keterkungkungan budaya budaya bagi perempuan, sehingga dominasi laki-laki diruang publik masih sangat dominan. (3) diskursus intersubjektivitas laki-laki yang superioritas, sementara perempuan inferioritas. Sehingga kalau perempuan terjun di dalam ruang publik termasuk diarena politik itu bagian dari perlawanan kultural termasuk melawan mitos superioritas, keadilan dan perjuangan gender.

Contoh kasus misalnya ; di Kepualauan Bangka Belitung sejak menjadi propinsi tahun 2000 lalu---keterwakilan politik masyarakat bangka Belitung di DPR RI masih di dominasi 100 persen laki-laki (3 kursi) dari pemilu ke pemilu. Bangka Belitung berdasarkan data statistik jumlah penduduk kurang lebih 1.473.165 jiwa, dengan kategori jumlah laki-laki 655. 051 jiwa, sementara perempuan 606.686 jiwa. Dan berdasarkan sensus tahun 2020 di sebutkan 68 % Gen Z dan milenial. Tetapi di pemilu tahun 2024 kali ini dengan mengejutkan kalau kemudian ada sosok perempuan yang bisa tembus ke parlemen DPR RI yaitu ibu Melati (Istri Erzaldi, Mantan Gubernur Bangka Belitung 2017-2022), ini adalah prestasi sekaligus prestise bagi politisi perempuan khusunya di Bangka Belitung.

Melati bisa dikatakan sebagai representasi politik kaum perempuan, gender, dan Generasi Z dan milenial. Tentunya dengan melihat aktivitas sosialnya selama ini baik di UMKM, Majelis Taklim, serta kegiatan sosial lainnya---yang merepresentasikan keterwakilan politik perempuan secara khusus dan masyarakat Bangka Belitung pada umumnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: