RIMBAK, REBAK, PEMITAK, KUBAK, BEBAK DAN KELEKAK (Bagian Empat)
Akhmad Elvian--
OLEH: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
SISTEM besaoh merupakan bentuk adaptasi Orang Darat terhadap ekologi hutan tropis yang terbentang sangat luas dan dalam mengatasi berbagai tantangan guna memenuhi kebutuhan hidup.
----------------
ANTARA kelompok 5 hingga 10 bubung rumah pondok ume (memarung) peladang dengan kelompok peladang lainnya dihubungkan dengan jalan setapak atau jalan kecil yang sempit, tidak terawat serta sulit ditelusuri, kadang-kadang jalan tersebut harus dilewati dengan menyeberangi sungai kecil yang disebut masyarakat Bangka dengan aik tumbek. Sebenarnya jalan tersebut adalah jalan air ketika hujan yang kemudian berkumpul di sungai kecil atau aik tumbek yang dijadikan sebagai tempat pemandian.
BACA JUGA:RIMBAK, REBAK, PEMITAK, KUBAK, BEBAK DAN KELEKAK (Bagian Satu)
Bangunan pondok ume di samping disebut memarung sering juga disebut dengan pangkul, bentuk bangunan bercirikan; memanjang ke belakang dengan bubung atap pelana (bubung gudang) dan liper (kanopi), terbuat dari material tumbuhan rumbia atau nipah, pada masa awal menggunakan atap dari kulit kayu. Selanjutnya dinding pondok ume menggunakan material kulit kayu, dengan lantai terbuat dari susunan kayu (jerejak) atau pelepah pohon Nibung atau pelepah pohon Ibul yang dianyam menggunakan akar tumbuhan ketakung atau ketuyut (kantong semar). Rumah berbentuk panggung (ditinggikan di atas permukaan tanah) dengan tinggi sekitar 50-150 cm, terdiri zona bangunan muka dengan pintu (lawang) dan jendela (tibek) di sisi depan dan dapur di bagian belakang (uma labu) yang berdiri di atas tanah lebih rendah dari bangunan muka dan terdapat tangga kayu berjumlah ganjil di muka dan belakang rumah dengan hitungan tangga, tunggu, tinggal, yang bermakna siklus atau daur kehidupan manusia yang bermakna, bahwa tangga sebagai perlambang kelahiran, tunggu sebagai perlambang kehidupan dan tinggal sebagai simbol atau perlambang kematian.
BACA JUGA:RIMBAK, REBAK, PEMITAK, KUBAK, BEBAK DAN KELEKAK (Bagian Dua)
Pada masyarakat Mapur jumlah tangga memarung biasanya genap karena dalam pandangan mereka bila ada yang jatuh dari tangga akan mudah sembuhnya dan tangga menjadi penggenap bagian bagian dari memarung yang umumnya dibuat ganjil. Pada bagian bawah panggung rumah biasanya digunakan untuk menyimpan peralatan kerja, alat angkut kereta/kerito surong. Pada bagian muka pondok ume biasanya disiapkan pelanter (pelataran) untuk tempat mengirik dan menjemur padi serta untuk menaruh lanting lesung, kemudian dibuat juga antang-antang (pagar) di pelataran untuk menjemur kain.
BACA JUGA:KAMPUNG KAMPUNG DI DISTRIK PANGKALPINANG (Bagian Ketiga)
Kegiatan menggalang atau pemitak berikutnya adalah membuat pemitak untuk jalan setapak yang membelah lahan-lahan ume dan yang menuju ke sumber mata air serta lokasi untuk penanaman padi cerak dan padi ketan. Padi cerak terdiri atas beberapa jenis yang disebut mayang anget, ampai, padi empat bulan, padi keteb, mayang besar, padi kutu, padi kuning, sedangkan padi ketan terdiri atas beberapa jenis yaitu ketan putih, ketan hitam, ketan pare dan ketan jawa. Pada saat mewabahnya penyakit beri-beri di pulau Bangka sekitar pertengahan abad 19 Masehi, mengkonsumsi Beras Darat atau Beras Merah ternyata efektif mencegah dan mengurangi penyakit beri-beri.
Langkah berikutnya adalah melakukan nuja, yaitu kegiatan menanam bulir atau biji padi. Bibit padi yang berasal dari panen tahun sebelumnya yang telah disimpan kemudian dipilih kembali untuk dijemur guna mengusir hama, setelah dijemur dibawa ke seseorang yang disebut pak Tue, yaitu orang yang mengetahui tentang seluk beluk padi, kemudian dipersiapkan perlengkapan berupa tuja yang terdiri dari dua batang kayu, biasanya jenis kayu yang keras seperti kayu jenis kayu Pelawan dan kayu Ibul.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: