Satu Hakim Berpendapat, 5 Terdakwa Sertifikat Trans Jebus tidak Bersalah?

Satu Hakim Berpendapat, 5 Terdakwa Sertifikat Trans Jebus tidak Bersalah?

Para Terdakwa Saat Sidang Pembacaan Vonis.--

BABELPOS.ID- Meski 6 terdakwa Tipikor sertifikat transmigrai Jebus, Bangka Barat (Babar), sudah divonis 4 tahun dan 2 bulan penjara, 

bukan berarti 3 majelis hakim berpendapat sama.  

Adanya dissenting opinion (DO), justru menunjukkan adanya hakim yang berpendapat beda.  DO sendiri adalah perbedaan pendapat atau opini yang dibuat oleh satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju (disagree) dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis.

Anggota majelis yang mengajukan DO adalah M Takdir yang berpendapat kalau 5 terdakwa harus dibebaskan kecuali Ansori (Honorer BPN). Sedangkan 2 hakim lainya Mulyadi (ketua)  dan Warsono  (anggota) menyatakan ke 6 terdakwa telah bersalah sehingga harus divonis penjara.  Namun, karena 2 majelis berpendapat sama, maka para terdakwa tetap divonis bersalah.

BACA JUGA:Vonis Penjara Buat 6 Terdakwa Sertifikat Trans Jebus, ini Pertimbangannya

DO dari hakim M Takdir bahwa dalam pusaran perkara yang harus dipersalahkan adalah terdakwa Ansori, bukan dari pihak Dinas Transmigrasi Bangka Barat. Ansori sendiri merupakan mantan pegawai Kantor BPN Bangka Barat.

Kasus itu menurut Takdir, mempunyai niat (mensrea) untuk menambah sertifikat di luar dari 68 KK  adalah Ansori bukan ke 5 terdakwa lainnya, masing-masing:

1) Slamet Taryana (mantan Kabid Transmigrasi Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemkab Bangka Barat).

2) Ridho Firdaus (Kasi Penyiapan dan Pembangunan Pemukiman Transmigrasi). 

3) Elyna Rilnamora Purba (Subkoordinator Pengembangan Kawasan Transmigrasi), 

4) Ariandi Pramana alias Bom Bom (honorer Dinas Transmigrasi).

5) Hendry (mantan Kades Jebus).

BACA JUGA:Ke 6 Terdakwa Tipikor Sertifikat Trans Jebus Divonis 4 Tahun 2 Bulan

Sementara terkait dengan kerugian negara Takdir melandaskan bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 25/PUU-XIV/2016 telah mencabut frasa kata “dapat” dalam pasal 2 dan pasal 3 UU Tipikor. Hal ini dapat diartikan bahwa pasal tersebut mengalami perubahan yang semula merupakan delik formil maka dengan keluarnya putusan MK tersebut berubah menjadi delik materil dengan demikian pengertian delik formil yaitu apabila perbuatan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian keuangan negara dapat dipidana sedangkan pengertian delik materil dimana perbuatan yang dilakukan tersebut harus menimbulkan kerugian keuangan negara yang nyata. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: