REBO KASAN, TRADISI TOLAK BALA (Bagian Dua)

REBO KASAN, TRADISI TOLAK BALA (Bagian Dua)

Akhmad Elvian--

Manusia selalu ingin menampakkan dan menampilkan identitas atau jatidirinya dalam realitas kehidupan, baik dalam kehidupan kelompok maupun dalam kehidupan yang lebih luas yaitu masyarakat, tampilan identitas atau jatidiri tersebut tampak dalam peristiwa-peristiwa budaya yang melingkupi kehidupan manusia baik dalam tataran linear maupun dalam tataran siklus. Dalam menjalankan keteraturan atau ketidakteraturan dan tingkatan-tingkatan dalam kehidupan (daur hidup), dijumpai tahapan-tahapan krisis dalam kehidupan (crisis rate), biasanya masa-masa krisis tersebut dilalui oleh manusia dengan melakukan upacara-upacara tertentu baik yang dapat diterima secara rasional atau juga melalui upacara yang tidak rasional yang sifatnya sacral, pseudo sacral dan supranatural, semua upacara itu dilakukan agar tahapan-tahapan krisis kehidupan pada diri manusia dapat dilalui dengan selamat, misalnya anggapan tentang datangnya bermacam-macam bala dan musibah yang akan datang pada hari Rabu terakhir pada bulan Safar. Ketika mengalami bala dan musibah yang terus meneruspun perlu diadakan upacara seperti diruwat atau ditaber (purification), bahkan kematianpun dalam adat dan tradisi masyarakat Bangka diupacarakan.

BACA JUGA:Gunong Muntai (Mountain)

Pada masa Susuhunan Sultan Ahmad Najamuddin I Adikusumo (memerintah Tahun 1757-1776 Masehi), pembinaan dan pemberlakuan adat istiadat serta pengaturan peran lembaga adat di pulau Bangka dilaksanakan dan diatur oleh seorang tumenggung yang diangkat oleh Sultan Palembang dengan kedudukan yang sama dengan tumenggung yang ada di Palembang. Pada waktu itu diangkatlah tumenggung Pertama di pulau Bangka bernama Abang Pahang, anak dari Encek Wan Abdul Khalik atau salah seorang cucu dari Encek Wan Abdul Hayat (Lim Tau Khian). Abang Pahang masih berkerabat dekat dengan Wan Abdul Jabar, yang menantunya sultan Mahmud Badaruddin I Jayowikromo (Masa Pemerintahan 1724-1757 Masehi).

BACA JUGA:Pelirang Basah

Sebagai tumenggung, Abang Pahang memerintah pulau Bangka dengan gelar Tumenggung Dita Menggala dan berkedudukan di Kota Mentok. Sultan Palembang Darussalam juga mengangkat pemimpin-pemimpin rakyat di bawah tumenggung yaitu beberapa depati dan di bawah depati diangkatlah beberapa krio, ngabehi (untuk pulau Belitung), dan beberapa jabatan batin. Di samping jabatan-jabatan pemerintahan kesultanan di atas sultan juga mengangkat para penghulu, imam dan chatib, modin serta kadhi untuk pembinaan masyarakat, adat istiadat dan pengaturan agama Islam, serta diangkat pula jabatan demang dari kerabat dekat sultan yang berkedudukan di pangkal-pangkal di pulau Bangka yang didirikan sultan dan bertugas mengurusi distribusi Timah dari Parit penambangan Timah sampai ke kesultanan di Palembang. Para penghulu, imam dan chatib, modin serta kadhi melakukan pembinaan terhadap masyarakat, adat istiadat dan pengaturan agama Islam, oleh sebab itu kebanyakan upacara adat dilakukan di masjid dan surau atau langgar di pulau Bangka. Pada masa Sultan Ahmad Najamuddin I Adikusumo, Hukum Adat Sindang Mardika (45 Pasal) yang telah berlaku sejak masa Sultan Abdurrahman (Tahun 16-1708 Masehi, tetap dilaksanakan pada daerah-daerah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam yang berada di luar wilayah ibukota kesultanan atau di luar Palembang yaitu pada daerah Sindang, sedangkan untuk daerah atau wilayah Uluan Palembang yaitu pada daerah yang berstatus Sikap dan Kepungutan diberlakukan ketentuan berupa hukum adat Simbur Cahaya. Hukum Adat yang berlaku tersebut telah disesuaikan dengan kebiasaan adat istiadat di kesultanan Palembang Darussalam dan kebiasaan kebiasaan adat dan tradisi yang berlaku di pulau Bangka.(***/Habis)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: