GOLPUT, Golongan Pemburu Uang Tunai

GOLPUT, Golongan Pemburu Uang Tunai

Ahmadi Sofyan - Penulis Buku /Pemerhati Sosial Budaya--

mendatangkan keuntungan pribadi bagi masyarakat yang menerima. Tetapi, dilain sisi mereka juga sadar bahwa pemberian uang dalam pemilu maupun pemilukada demi mendulang suara adalah hal yang sangat tidak dibenarkan bahkan merupakan perilaku terbodoh bagi masyarakat intelektual.

Oleh karenanya, realitas semacam ini sudah seharusnya menjadi bahan pikiran oleh para caleg dan parpol dalam menyajikan atraksi merebut simpati masyarakat. Sudah saatnya pula para caleg dan parpol yang bertarung untuk mengubah perilaku politik seperti selama ini (sampai sekarang) dilakukan. Dari atraksi bak film India, dari luar nampak bagus dengan pemain yang aduhai, mempesona dengan suara merdu yang membuat kita terlena, tapi pada akhirnya menghilang dan tenggelam setelah usai pesta demokrasi, dan ketemu lagi menjelang Pemilu atau Pilkada berikutnya.

Siapa yang salah dari demokrasi semacam ini? tentunya kita semua, pemerintah, parpol, caleg, timses bahkan rakyat semuanya berjama’ah dalam kesalahan ini. Politik uang yang dilakukan oleh para caleg atau peserta Pilkada seperti selama ini berlangsung adalah penyebab utama dari bobroknya mental masyarakat kita dalam memahami demokrasi. Wajar saja jika Golput (golongan putih) atau orang yang tidak memilih menjadi semakin bertambah. Karena mereka cenderung dilematis, calon yang satu ngasih lembaran uang, yang satunya memberi sembako, yang satu lagi ngasih jilbab, yang satu lagu kaos bola dan akhirnya untuk “aman” ia pun tidak memilih.

Sejak reformasi bergulir, sekarang menjadi era demokrasi bebas melakukan apa saja. Bahkan siapa saja bisa memimpin negeri ini, bisa mewakili rakyat walau tanpa harus memiliki kemampuan dan wawasan serta pengalaman yang memadai. Tak peduli menjadi wakil rakyat yang ternyata jauh lebih bodoh dari rakyat yang ia wakili, yang penting duduk dan fasilitas hidup dibiayai oleh negara, termasuk berwisata dengan judul studi banding.

Rakyat pun tak mau kalah, mereka sangat menikmati bahkan menunggu moment Pemilu maupun Pilkada karena disitulah “sedekah” calon besar-besaran diberikan kepada rakyat. para calon tiba-tiba muncul bak Sinterklas menjadi dewa penolong dan penuh kepedulian walau sebelumnya tak pernah melakukan apapun kepada rakyat bahkan kepada diri sendiri dan keluarganya saja mereka tak pernah berbuat. Akhirnya tanpa disadari rakyat kita terdidik menjadi “tukang tanggok” sehingga tak perlu repot bagaimana seharusnya memilih pemimpin atau wakil rakyat yang berkualitas.

Di sisi lain, era demokrasi sembako dan rupiah ini ternyata memunculkan berbagai macam elemen masyarakat mengklaim diri memiliki massa, memimpin organisasi ini dan itu, punya konstituen yang loyal, memiliki seperadik dimana-mana dan berbagai klaim lainnya kepada para kandidat atau caleg akan menjamur, terutama kandidat yang dianggap memiliki banyak materi. Klaim ini pun nampaknya seiring dan seirama dengan klaim para kandidat yang “narsis” mengklaim diri mampu berbuat, peduli, amanah, tegas, merakyat, berjuang demi rakyat untuk rakyat walaupun sebelumnya tidak mengenal rakyat yang akan ia pimpin, mengusung perubahan (walaupun tidak jelas) dan seabrek narsisme-narsisme para kandidat di sepanjang jalan dengan baliho raksasa “cetar membahana melewati garis khatulistiwa”, begitu menurut artis Syahrini. Akhirnya parade tukang tanggok yang kesini “aok” kesana “aok” pun kian menjamur melebihi baliho, spanduk dan stiker caleg dan partai itu sendiri.

Era demokrasi sembako dan Rupiah seperti sekarang ini, rakyat kita nampaknya hanya dididik dengan barang-barang semu yang tak seberapa nilainya. Jarang sekali rakyat menodong caleg, partai atau kandidat dengan meminta konsep pembangunan ketika ia mewakili kita sebagai rakyat dalam sistem pemerintahan, lantas ia memilih wakilnya tersebut karena konsepnya yang menjanjikan bukan karena pemberian. Era demokrasi sembako dan Rupiah seperti sekarang ini, bukan hanya Golput (Golongan Putih) atau kelompok tidak memilih semakin bertambah, tapi sumpah mati yang kian dan pesat pertumbuhannya adalah golongan GOLPUT NPWP (Golongan Pemburu Uang Tunai, Nomor Piro Wani Piro?). Begitulah kita, selalu senang dan asyik berbicara orang ketimbang bagaimana mengembangkan potensi dalam diri kita serta mengangkat derajat kehidupan kita ditengah kehidupan sosial dengan berbagai usaha yang pasti. Politik yang pasti berbeda, tentunya mengandung riak keretakan dan perpecahan sosial. Oleh karenanya, seringkali saya ungkapkan: “Kita bersaudara, bertetangga dan berteman untuk seumur hidup, sedangkan Pemilu dan Pilkada hanya 5 tahun sekali, jangan korbankan saudaramu, tetanggamu dan sahabatmu hanya karena perbedaan dukungan dan pilihan dalam Pemilu dan Pilkada”.

“Bang Ahmadi sudah punya pilihan?” saya menjawab tegas: “Saya tidak pernah netral, selalu punya pilihan dan pasti selalu memilih, namun cukup saya dan isteri yang tahu”. begitulah saya menjawab. Sebab, saya tidak pernah Golput apalagi Golongan Pemburu Uang Tunai. Kalau transfer rekening sih, okeylah. Nah kan?!

Salam Golput!(*)

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: