GOLPUT, Golongan Pemburu Uang Tunai

GOLPUT, Golongan Pemburu Uang Tunai

Ahmadi Sofyan - Penulis Buku /Pemerhati Sosial Budaya--

Oleh: AHMADI SOFYAN

Penulis Buku / Pemerhati Sosial

 

“Politik itu mahal, bahkan untuk kalah pun

kita harus mengeluarkan uang”

(Will Rogers)

 

WALAUPUN bukan Caleg, saya cukup rajin masuk ke kampung-kampung dan berdialog langsung atau berkegiatan dengan masyarakat, apalagi menjelang Pemilu seperti sekarang ini. Justru dengan tidak menjadi Caleg, saya merasa tanpa beban, pun demikian dengan masyarakat yang kumpul-kumpul dengan saya.

Sebab menjelang tahun politik, tidak ada obrolan atau diskusi yang lebih menarik dan hangat kecuali mengenai Pemilu 2024, terutama soal Capres Cawapres, Pilkada, Pilwako, Pilgub hingga soal caleg dalam berbagai tingkatan. Di Warung kopi, teras rumah, pondok kebun, teras masjid atau mushola, kantor, dan berbagai tempat lainnya, komentator-komentator soal caleg menjadi topik paling hangat. Semua orang, lintas profesi dan status sosial, semuanya ikut ambil bagian dalam pembicaraan, terutama para timses. Karena begitu banyak calon, maka satu orang bisa menjadi timses beberapa caleg di Dapil yang sama maupun berbeda. Sedangkan kepada saya, kerapkali ditanyakan soal Capres Cawapres, Calon Bupati & Wakil Bupati, Calon Walikota & Wakil Walikota dan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur.

Menjelang tahun 2024, yakinlah bahwa mobil rental menjadi laris, percetakan meraup untung, tukang kayu spesialis baliho dapat rezeki, setiap keluarga dilibatkan menjadi “Panitia Pemilu” atau “Panitia Pesta Caleg”. Bahkan di kampung saya, lucunya ada orang yang menjadikan timses sebagai pekerjaan tetap atau mata pencaharian, sehingga setiap Pilkada atau Pemilu ia selalu ada. Siapapun yang mengajak untuk menjadi Timses ia selalu siap, yang penting dibayar dengan uang tunai, begitulah slogannya. Selama menjadi timses, kemana-mana membawa kendaraan, tapi hanya bertahan paling lama 2 sampai 3 bulan, setelah selesai tugas di “medan perang”, maka selesai sudah rental kendaraan tersebut, begitupula dengan bayaran perbulan yang didapatkan pun dihentikan. Selanjutnya ia menunggu Pilkada, Pilgub dan Pemilu berikutnya. Jangan coba-coba bicara politik dengannya, walau tidak mengenyam sekolah, pintarnya dalam berbicara luar biasa. Tapi dirinya tetaplah tidak jadi apa-apa.

Demokrasi Sembako dan Rupiah

ADA kawan iseng bertanya: “Bung, bangsa kita ini menganut demokrasi apa ya?” spontan saya pun menjawab: “Demokrasi Sembako dan Rupiah, mas bro!”.

Bukan tanpa alasan kalau “kekeliruan” jawaban itu saya utarakan karena masalah besar dalam proses demokrasi kita yang menjadi sorotan salah satunya adalah masalah politik sembako dan uang yang ternyata mampu mempengaruhi pemilih dari kalangan rakyat jelata yang memang mayoritas.

Adanya anekdot “ambil uangnya dan jangan pilih orangnya” atau “terima dan nikmati sembakonya, jangan pilih orangnya” merupakan bukti bahwa kecenderungan pemilih lebih pada konten ketimbang konteks. Kalimat tersebut juga sekaligus menggambarkan kecerdasan rasionalitas pemilih. Uang yang diambil atas pemberi pihak calon tentu

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: