CERPEN: Lelaki Tanpa Nama yang Setia Menunggu di Dermaga

CERPEN: Lelaki Tanpa Nama yang Setia Menunggu di Dermaga

--

 

“Kau tidak sedang bercanda, kan? Mana mungkin ada sosok perempuan seperti itu di dunia ini.”

 

Lagi-lagi lelaki tanpa nama itu menggeleng yakin. “Tentu saja aku tidak sedang bercanda. Dia sungguhlah istriku. Bukan bidadari. Bukan pula perempuan-perempuan yang sudah dimiliki lelaki lain.”

 

Merasa percakapannya makin mendalam, salah satu calon penumpang kapal Dharma Sentosa itu pun memilih hengkang. Apalagi diamatinya lambung kapal yang tengah bersandar di dekat mereka telah benar-benar kosong. Satu per satu penumpang yang ingin menyeberang ke Palembang mulai mengisi kursi-kursi yang kosong.

 

Sekali lagi, sebelum sang penumpang benar-benar pergi dari hadapannya, lelaki paruh baya tadi kembali berujar. “Tolong ingat selalu pesanku ini: kalau kau kelak tahu di mana keberadaan istriku tadi, tolong sampaikan padanya bahwa aku rindu. Pulanglah. Itu saja.”

 

Si calon penumpang kapal hanya mengangguk, bukan benar-benar untuk mengiyakan, melainkan hanya sekadar cara berbasa-basi. Di depan pintu masuk keberangkatan, selembar tiket kapal milik si penumpang disobek salah satu ujungnya oleh seorang petugas pelabuhan. Si penumpang kapal yang juga tak ingin menyebutkan namanya—atau lebih tepatnya tidak berani—itu pun hanya bisa menghela napas panjang.

 

Sejujurnya, hari ini, sudah dua buah tiket kapal yang ia sodorkan pada petugas pelabuhan: satu tiket jurusan Tanjung Siapi-api menuju Tanjung Kalian yang tiba pagi tadi, dan satu lagi rute sebaliknya, Tanjung Kalian—Tanjung Siapi-api yang akan membawanya raganya pulang ke Palembang petang ini.

 

Andai boleh jujur, tujuan penumpang tadi mengunjungi Pulau Bangka adalah untuk membuktikan cerita orang-orang bahwa ada seorang lelaki paruh baya yang selalu setia menanti kepulangan istrinya di dermaga Tanjung Kalian, Muntok, di penghujung bulan Desember yang berangin. Dan benar saja, kisah yang beredar mengenai lelaki bermata cekung dengan kesetiannya itu sungguhlah nyata.

 

Semestinya pula penumpang kapal itu telah menyampaikan permohonan maafnya pada si lelaki. Sebab, dahulu, lima tahun lalu, di suatu malam menjelang perayaan pergantian tahun, dalam perjalanan menuju pusat Kota Palembang tidak sengaja mobil yang ia kemudikan dengan ugal-ugalan menabrak mati seorang perempuan paruh baya dengan ciri yang khas: tubuh semerbak wangi bunga nyatoh, bibir semerah kayu pelawan, pun rambutnya sehitam abu bakaran merang.(**)

 

Alfian N. Budiarto, seorang pegawai di Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Bangka Tengah yang gemar menyalurkan hobinya melalui cerpen, novel, dan saat ini juga menyambi sebagai seorang penulis skenario film. Novel cetak karyanya antara lain: Ablasa (2018), Sepucuk Relikui (2018), Summer Rain (2019), 1+3=4 Sekampret (2019), (T)issue (2019), Solitude (2020), Perajah Luka (2022), dan Tubin (2022). Skenario plus novelnya yang berjudul Anoksia telah dialihwahanakan menjadi film oleh Klik Film pada tahun 2022. Selanjutnya, novelnya yang berjudul Sujud Terakhir Bapak juga akan segera diterbit oleh Falcon Publishing sekaligus akan dialihwahanakan menjadi sebuah film. Penulis dapat disapa di Instagram: @alfiannbudiarto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: