CERPEN: Lelaki Tanpa Nama yang Setia Menunggu di Dermaga

CERPEN: Lelaki Tanpa Nama yang Setia Menunggu di Dermaga

--

Oleh Alfian N. Budiarto
   

DI SETIAP petang pada akhir bulan Desember yang berangin, orang-orang akan selalu rutin mendapati keberadaan seorang lelaki paruh baya yang tidak pernah sekali pun mau menyebutkan namanya tengah duduk di tepi dermaga Tanjung Kalian, Muntok.

 

Masa ketika sekawanan burung camar lebih memilih untuk sejenak menepi dan hinggap di rimbun ranting bakau ketimbang menerjang derasnya angin barat, lelaki bermata cekung itu akan berlama-lama mematung. Sepasang matanya acap kosong. Meski mengarah ke batas cakrawala di kejauhan, namun nyatanya lelaki itu tidak benar-benar sedang menikmati redup langit yang tengah disepuhi jingga.

 

Tidak pula ia pedulikan embusan angin barat yang menerbangkan ujung pakaiannya, juga menyusup di antara celah jalinan kopiah resam di kepala. Sungguh, lelaki paruh baya itu sama sekali tidak peduli. Ia memilih diam. Tidak bergerak. Serupa bongkahan batu pemecah gelombang di pinggiran karang.

 

“Aku datang dari Koba,” katanya ketika seorang penumpang kapal yang hendak menyeberang ke Palembang menyempatkan diri bertanya mengenai asal-usulnya setelah sedari tadi hanya berani memperhatikan dari kejauhan. Tidak jauh dari keduanya, sebuah kapal feri yang baru saja bersandar, terlihat menurunkan muatan: truk-truk besar pengangkut buah dan sayur, belasan mobil pribadi, serta puluhan sepeda motor, disusul penumpang yang turun paling belakang.

 

“Kulewati Pangkalpinang hingga Muntok dengan berjalan kaki. Jadi, jangan heran jika kau melihat kakiku ini melepuh, atau sandalku nyaris putus talinya. Sebab, hanya satu-dua mobil pengangkut sawit dan getah karet setengah jadi yang sudi menawarkan tumpangan,” sambungnya lagi.

 

“Lalu, untuk apa kau datang kemari? Ingin menyeberang ke Palembang?”

 

Lelaki itu menggeleng, setidaknya sebanyak tiga kali. Uban-uban di kepalanya bahkan tampak menyembul diam-diam dari balik anyaman kopiah resam. “Tidak. Aku hanya ingin menunggu di sini. Menunggu sampai barangkali di salah satu kapal yang bersandar nantinya, sosok perempuan yang kunantikan kedatangannya akan benar-benar kembali.”

 

“Kau menunggu seseorang?”

 

Kali ini lelaki bermata cekung itu mengangguk. “Iya.”

 

“Siapa?” tanyanya lagi, persis seorang investigator yang berusaha mengorek sebuah informasi penting.

 

“Istriku.” Jawaban si lelaki itu, lantas membuat lawan bicaranya terdiam untuk beberapa detik. “Kalau suatu saat di Palembang sana kau tidak sengaja menemukan keberadaan istriku, tolong katakan padanya untuk segera pulang seperti janjinya: di salah satu petang pada akhir Desember yang dingin dan berangin,” lanjut lelaki itu dengan tatapan sendu. Sepasang matanya berkabut dan nyaris basah.

 

“Aku tidak mengenal kau, tidak pula mengenal siapa istrimu. Lantas bagaimana bisa aku menyampaikan pesanmu ini pada sosok yang tepat? Istrimu saja masih terlalu abu-abu bagiku?”

 

Lelaki itu tersenyum tipis. Senyum yang setengah dipaksakan, yang muaranya tidak benar-benar berasal dari dalam hati. “Hanya istriku yang tubuhnya semerbak wangi bunga nyatoh, bibirnya semerah kayu pelawan, pun rambutnya sehitam abu bakaran merang. Tidak akan ada duanya.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: