Demang di Pulau Bangka (Bagian Satu)

Demang di Pulau Bangka (Bagian Satu)

Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan- FOTO: Ilust babelpos.id-

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan , Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

PADA masa Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin I Adi Kesumo (memerintah Tahun 1757-1776 Masehi) di pulau Bangka terdapat Depati Pakuk yang membawahi Enam orang Batin dan Dua orang Krio, kemudian Depati Panji yang membawahi Tiga orang Batin, kemudian di Mentok tempat kedudukan Tumenggung terdapat Enam orang Batin serta di pulau Belitung terdapat seorang Depati yang membawahi Lima orang Ngabehi dan seorang Krio. 

Pada masa itu juga, oleh sultan Palembang Darussalam dibentuk pangkal-pangkal tempat kedudukan Demang. Para demang diangkat dari kerabat dekat atau keluarga sultan dan mereka berhubungan langsung dengan sultan. Para demang yang diangkat oleh sultan berada di luar sistem dan mekanisme pemerintahan yang ada, atau berada di luar jabatan yang hierarkis mulai dari tumenggung, depati, krio/batin/ ngabehi, gegading dan lengan.

Pangkal sebagai tempat kedudukan demang yang didirikan pada masa itu adalah Pangkal Pinang, Pangkal Bendul, Bijat, Bunut, Rambat, Parit Sungai Buluh, Tempilang, Lajang, Sungailiat, Cengal, Pangkal Koba, Balar, dan Toboali. 

Di samping mengurus distribusi Timah dari parit penambangan Timah ke pangkal dan terus dibawa ke Palembang atau Batavia, para demang juga berrtugas mengurus kewajiban membayar konsesi berupa Timah Tiban setiap tahunnya oleh orang pribumi Bangka kepada sultan Palembang sebagai pajak. 

Kewajiban membayar pajak Timah Tiban-Tukon hanya berlaku kepada penduduk pribumi Bangka (bangkanese), baik Orang Darat maupun Orang Laut, sedangkan bagi orang-orang Melayu yang berasal dari Siantan terbebas dari membayar pajak Timah Tiban. Timah selanjutnya menjadi sumber kekayaan bagi kesultanan Palembang Darussalam disamping Lada atau Sahang. 

Pangkal sebagai tempat kedudukan demang serta tempat pengumpulan dan distribusi Timah di wilayah pulau Bangka didirikan di wilayah yang biasanya dekat muara-muara sungai dan dekat dengan wilayah di pesisir pantai pulau Bangka.

Untuk menjaga pangkal-pangkal tempat kedudukan Demang di pulau Bangka didirikanlah benteng atau parit pertahanan, dapat dijelaskan; …”maka tempoh ini baginda susuhunan memerintahkan membuat kota benteng tanah atau kayu di pangkal-pangkal tanah Bangka….” (Wieringa, 1990:111). 

Terdapat beberapa benteng yang didirikan masa ini seperti benteng Kota Seribu, Benteng Kota Tempilang, benteng Sungaibuluh dan benteng di Teluk Kelabat Belinju. Tumenggung juga mengangkat jabatan panglima penjaga benteng-benteng tersebut dengan nama Panglima Angin. Beberapa Pangkal atau Pengkal tempat kedudukan demang yang didirikan pada masa Sultan Ahmad Najamuddin I Adi Kesumo (memerintah Tahun 1757-1776 Masehi), kemudian berkembang menjadi kota-kota penting di pulau Bangka dan menjadi pusat peradaban, seperti Pangkalpinang, Pangkalliat yang menjadi Sungailiat, Pangkal Toboali dan Pangkal Koba. 

Kata “pangkal atau pengkal” yang pada awalnya hanya sebagai tempat kedudukan demang dan jenang serta tempat pengumpulan Timah, kemudian lambat laun berkembang artinya menjadi pusat distrik, kota tempat pasar dan tempat berlabuh kapal serta kota tempat segala macam aktifitas dimulai (Elvian, 2009:16).

Sebagai balas jasa pembayaran pajak Timah Tiban-Tukon, sultan memberikan selembar baju hitam dan cukin kepada masyarakat. Disamping itu sultan juga membantu biaya pembangunan benteng (misalnya benteng Kota Seribu, dibantu sultan dari seribu pikul beras dan seribu ringgit uang), pembangunan masjid (batuan kayu bagi pembangunan masjid di Mentok), pembangunan gudang Timah seperti di Panji Belinjoe dan di tempilang serta di Belo. 

Sejak Kesultanan Palembang Darussalam di bawah pemerintahan Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin I Adi Kesumo, rakyat Bangka mengalami masa kemakmuran karena rakyat diberi kebebasan untuk menambang timah secara tradisional dan menjualnya kepada Sultan Palembang, walaupun diberlakukan  pajak  Timah Tiban. 

Pajak Tiban diberlakukan oleh Kesultanan Palembang Darussalam terhadap daerah kekuasaan yang disebut Sindang, berupa timah seberat 50 kati (1 kati = 6 ¼ ons) dibebankan setiap tahun kepada orang pribumi Bangka yang sudah berkeluarga. Pajak ini sering diselewengkan para demang dengan cara memungut sampai Tiga kali lipat dari ketentuan dan sisa bagian yang disetor ke kesultanan menjadi kekayaan pribadi demang). 

Sultan juga menerapkan hukuman mati bagi penyelundup atau orang yang menjual Timah bukan kepada sultan. Ketentuan tentang Timah Tiban ini diatur dalam hukum adat Sindang Mardika pada pasal empat yang berbunyi ”maka segala orang yang jadi kuli atau  matagawe dan yang mengeluarkan Timah Tiban satu potong satu orang itu melainkan orang Bangka yang sudah berbini tetapi jikalau sudah bercerai atau sudah bermantu dengan sebab itu jadi luput di atas segala pekerjaan yang tersebut serta sudah ditentukan yang perempuan tiada boleh keluar dari tempatnya masing-masing distriknya sendiri” (Wieringa, 1990:92).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: