Bujang Pede: Puisi Tanpa Suara...

Bujang Pede: Puisi Tanpa Suara...

Bujang PeDe--

BUJANG kini punya kebiasaan baru. Menulis puisi. Setiap hari kerjanya mengurung diri di kamar. Ia bergumul dengan pena dan kertas. Entah sudah berapa banyak puisi yang ia tulis.

Setiap selesai satu puisi, maka ia akan membacanya. Suaranyanya yang cempreng membahana seantero rumah.

Kadang orang yang kebetulan melintas di depan rumahnya dibuat kaget oleh suara Bujang.

Emak? Jangan ditanya. Emak sudah pusing melihat tingkah laku anaknya itu. Namun sebagai Emak dia tak mau melihat anaknya murung. Maka ditahan-tahannyalah kupingnya yang serasa mau meledak.

"Daripada ia keluyuran tak jelas, lebih baik dia di rumah," pikir Emak.

Bujang menulis puisi tentu punya maksud. Puisi-puisi itu ia tulis khusus untuk Maysaroh. Ia juga akan membacakannya di depan Maysaroh.

Itu akan ia lakukan pada acara ulang tahun karang taruna, besok siang. Di perayaan ulang tahun itu nanti, berbagai kegiatan dilakukan. Mulai tarian, pantun, lomba memasak, organ tunggal, termasuk membaca puisi.

Ia yakin Maysaroh akan datang. Sebab hampir semua warga akan datang. Apalagi disediakan berbagai makanan.

Karena itulah Bujang berlatih dengan sangat keras. Bujang mulai mengkhayal Maysaroh akan jatuh hati padanya setelah ia membacakan puisi.

Berjam-jam Bujang berlatih. Hingga larut malam suara cemprengnya masih bergema. Emak yang semula mendiamkan, malam ini ngamuk.

"Sudah jam dua malam Bujang. Berhentilah kau merapal mantra itu," ujar Emak.

Bujang diam. Sebenarnya dia cukup lelah. Suaranya juga sudah mulai parau. Tenggorokannya terasa panas. Lidahnya juga sudah mulai terasa tebal. Maklum sudah 12 jam lebih dia membaca puisi yang ia buat sendiri itu. 

Tibalah hari pembacaan puisi. Bujang dengan percaya diri naik panggung. Orang-orang menunggu. Ia sempat mencari posisi Maysaroh. Ketemu. Bujang pun mulai beraksi.

Namun, suara Bujang tak terdengar. Ia sudah berusaha untuk mengeluarkan suaranya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: