Protes Raffles

Protes Raffles

Akhmad Elvian - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan--

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

SEPUCUK surat ditulis oleh Thomas Stamford Bingley Raffles, seorang bekas Governor General Inggris, pada tanggal 3 Juli 1818 Masehi kepada Dewan Rahasia (Secret Committee) East India Company berbunyi: 

“It is much to be regretted that the island of Banca was ever ceded to the Dutch.Could this important station be regained, in payment for the heavy sums due by the Dutch Government on the close of the Java accounts, its advantages to the British Government would abundantly repay the amount foregone. Possessing Banca in indisputed sovereigny, it would be the seat of our eastern Government....”(British Library, India Office and Records). Surat ini adalah protes Thomas Stamford Bingley Raffles karena kecewa terhadap isi traktat (konvensi) London yang ditandatangani tanggal 13 Agustus 1814 Masehi, tentang serah terima daerah kekuasaan Inggris atas pulau Bangka kepada pemerintah kerajaan Belanda. Pulau Bangka hanya ditukar dengan Cochin, satu daerah yang terletak di Kerala India. Serah terima daerah kekuasaan dilakukan antara M.H. Court sebagai perwakilan kerajaan Inggris dengan K. Heynes sebagai perwakilan kerajaan Belanda di Kota Muntok pada tanggal 10 Desember 1816 Masehi. 

Protes Raffes sangat beralasan karena Raffles mengetahui, bahwa pulau Bangka yang pernah menjadi bagian dari dari EIC (East India Company) dan Pax Brittanica berada pada posisi yang sangat strategis dan pulau Bangka memilki potensi sumber daya alam yang berlimpah yaitu timah. Protes Raffles kepada Dewan Rahasia East India Company di atas ternyata terbukti benar. Kekayaan timah dari pulau Bangka sangat luar biasa besarnya mendatangkan kesejahteraan bagi kerajaan Belanda.  Dari sembilan distrik yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda di pulau Bangka terdapat sekitar 250 parit atau tambang timah, yang tentu saja menghasilkan jutaan gulden bagi kemakmuran negeri Belanda. Secara langsung kekayaan timah dari pulau Bangka telah membawa kemakmuran, tidak menutup kemungkinan kota-kota seperti Amesterdam, Rotterdam dan kota-kota besar di negeri Belanda dibangun sebagiannya dari kekayaan timah dari pulau Bangka. Komoditas timah menurut catatan Heidues (1992:128-129) pada pertengahan abad ke 19 merupakan komoditas ekspor terbesar ketiga setelah kopi dan gula yang memberikan keuntungan bagi pemerintah Hindia Belanda. Timah Bangka telah menjadi tambang emas: di tahun 1926, sumber BTW memperkirakan Bangka mendatangkan keuntungan kasar f 400 juta dalam sembilan puluh tahun pertama (1820-1910) dan f 350 juta dalam lima belas tahun berikutnya (1911-25).

Berdasarkan data Algemeen Verslag Der Residentie Banka Over Het Jaar 1851, sejak dari tahun 1844 Masehi sampai dengan tahun 1851 Masehi atau sekitar delapan tahun saja, telah dihasilkan sejumlah 564.589 pikul timah atau setara dengan 33.875.340 kilogram timah. Jika 1(satu) pikul timah dijual seharga  f 13,50 sesuai harga timah pada masa itu, maka selama delapan tahun saja, komoditas timah sudah mendatangkan keuntungan kotor sebesar sekitar f  7.621.951,5 bagi pemerintah Hindia Belanda.  

Kita dapat memperkirakan berapa besar jumlah timah yang dihasilkan Pemerintah Hindia Belanda dari pulau Bangka yang diperoleh dari olahan berbagai sumber dan data. Sejak tahun 1810 Masehi sampai tahun 1819 Masehi rata-rata produksi timah pertahun sebesar 20.000 pikul atau total produksi sebesar sekitar 200.000 pikul, kemudian produksi timah antara tahun 1820 Masehi sampai tahun 1829 Masehi rata-rata setahun sebesar 25.000 pikul atau total produksi sebesar 250.000 pikul, selanjutnya antara tahun 1830 Masehi sampai tahun 1839 Masehi rata-rata produksi timah pertahun sebesar 60.000 pikul atau total produksi sebesar 600.000 pikul, selanjutnya antara tahun 1840 Masehi sampai tahun 1850 Masehi produksi timah rata-rata pertahun sebesar 65.000 pikul atau total produksi sebesar 750.000 pikul. Produksi timah dari pulau Bangka terus meningkat antara tahun 1852 Masehi hingga tahun 1913 Masehi dan telah diproduksi timah dari pulau Bangka sejumlah 7.186.605 pikul dan dari tahun 1914 Masehi hingga tahun 1941 Masehi telah diproduksi timah sebesar 7.379.765 pikul. Jadi total selama kekuasaan Hindia Belanda di pulau Bangka telah dikeruk kekayaan timah sebesar sekitar 16.366.370 pikul atau 981.982.200 kilogram atau 981.982 ton timah. Jumlah ini belumlah termasuk produksi timah dari pulau Belitung dan masa VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie).

Kekayaan timah di samping mendatangkan kemakmuran bagi Pemerintah Hindia Belanda juga memberikan keuntungan pribadi yang besar bagi para pejabat pemerintah kolonial Belanda di pulau Bangka. Setelah berkuasa kembali di pulau Bangka, Pemerintah Belanda mengangkat K. Heynis sebagai Residen Bangka pertama. K. Heynis tidak lama menjabat sebagai residen karena bermasalah tentang keuangan pertimahan, beliau kemudian dicopot dari jabatannya dan kekuasaan atas Keresidenan Bangka diambil alih langsung oleh Comissaris General Belanda Edelher Herman Warner Muntinghe. Pemerintah Hindia Belanda di Batavia terpaksa mengirimkan sejumlah komisioner pada pertengahan tahun 1817 Masehi untuk memeriksa K. Heynis karena tindakannya yang buruk soal pengelolaan keuangan pertimahan. Residen  K. Heynis berpendapat, bahwa penyalahgunaan keuangan dilakukannya mengingat gaji yang diterimanya sangat rendah. Pemerintah Hindia Belanda kemudian membenahi masalah administrasi pertambangan dengan membuat kebijakan memberikan semacam fee sebesar f 0,50 kepada administratur distrik untuk setiap pikul timah yang disetor dari parit-parit penambangan. Kebijakan ini meniru kebijakan yang dilakukan pemerintah kerajaan Inggris yang memberikan  bonus  sebesar  f 1  per pikul timah kepada residen Inggris di Bangka M.H. Court di samping gaji.

Penyimpangan keuangan pertimahan sebenarnya terjadi karena residen yang berkuasa di pulau Bangka, di samping sebagai Kepala Administrasi Pemerintahan (bestuur) juga merangkap sebagai kepala Administrasi pertambangan. Penyatuan administrasi  ini menyebabkan kepincangan, karena pejabat-pejabat pemerintah kolonial Belanda lebih mementingkan urusan pertambangan yang dinilai lebih menguntungkan bagi kepentingan pribadi daripada memperhatikan pemerintahan dan kepentingan rakyat. Masing-masing distrik di pulau Bangka dikepalai oleh seorang bangsa Eropa yang berpangkat Administratur Distrik dari tambang timah dan merangkap Administratur Pemerintahan yang biasa disebut oleh masyarakat Bangka dengan sebutan Tuan Kongsi. Masing-masing Administratur Distrik, (kecuali di distrik Lepar eilanden, dipimpin oleh Posthounder) dibantu oleh seorang demang dan di bawahnya beberapa orang kepala onderdistrik yang bergelar batin dan di bawah batin terdapat beberapa kepala-kepala kampung yang dalam sebutan orang Bangka disebut gegading dan Lengan yang dalam sebutan bangsa Belanda disebut kepala-kepala rakyat pribumi. Sementara itu untuk mengurus orang-orang Tionghoa, pemerintah Hindia Belanda mengangkat jabatan Kapitan titulair, ada yang berpangkat Luitenant, Kapitein dan Mayor. Sebagai Contoh misalnya Pada masa Residen Bangka dipimpin oleh Ch.M.G.A.M. Ecoma Verstege (Tahun 1878), di distrik Koba, pada tahun yang hampir bersamaan yang menjabat sebagai Administrateur district adalah IJ Meeter, dan yang menjabat sebagai demang Koba, adalah Bahamin atau bahmin serta seorang Kapitan China berpangkat Luitenant der Chinezen, bernama Bong A. Kin. 

Kebanyakan pejabat kolonial Belanda yang bekerja di pulau Bangka beranggapan, bahwa upaya perhatian terhadap rakyat dengan mengembangkan perdagangan, pertanian dan kerajinan rakyat akan merugikan sektor pertambangan timah, sehingga sektor perdagangan, pertanian dan kerajinan rakyat tidak perlu diperhatikan dan dikembangkan serta dianggap kurang menguntungkan. Penduduk pribumi pulau Bangka dikondisikan oleh bangsa Belanda menjadi pemalas dan tidak giat bekerja untuk memperoleh hasil kerja yang lebih besar. Penduduk dikondisikan bekerja hanya untuk memenuhi kehidupan sehari saja seperti membuat arang untuk keperluan parit penambangan timah, membuat atap dari rumbia dan mendapatkan upah dari bekerja membersihkan parit penambangan, sementara itu perempuan pribumi Bangka bekerja menjual kebutuhan makanan dan pakaian yang diantar kepada pekerja-pekerja di parit penambangan timah. Sedangkan orang Laut pribumi Bangka bekerja mencari teripang, ikan dan rumput laut untuk ditukar dengan beras, garam dan pakaian.

Pada tahun 1819 Masehi Pemerintah Hindia Belanda menetapkan peraturan tentang monopoli perdagangan timah  (Tin Reglement). Peraturan monopoli perdagangan timah menyebabkan terjadinya penyimpangan, kecurangan dalam tata niaga timah. Perbedaan harga resmi timah yang ditetapkan Pemerintah Hindia Belanda dengan harga timah yang berlaku di pasaran bebas sangat mencolok, sehingga penyelundupan dan penjarahan terhadap parit-parit oleh perompak yang berkeliaran di perairan pulau Bangka menyebabkan kekacauan di berbagai pelosok pulau Bangka (untuk mengatasi perompak pemerintah Hindia Belanda melakukan renovasi beberapa benteng di pulau Bangka seperti benteng Toboali). Kebijakan Belanda tentang monopoli perdagangan timah merupakan salah satu penyebab terjadinya perlawanan rakyat Bangka melawan pemerintah Hindia Belanda.****

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: