Perjuangan Tjing (Hamzah) di Keresidenan Timor
Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan- FOTO: Ilust babelpos.id-
Oleh: Dato’Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan
SALAH satu tokoh sentral dalam pemberontakan Amir di pulau Bangka terhadap Pemerintah Hindia Belanda adalah Tjing atau Hamzah. Tjing lahir sekitar Tahun 1832 Masehi, dan dalam literatur nerlandosentris beberapa kali disebut dengan “Abang Tjing”.
Tjing atau Hamzah adalah adik kandung Amir dengan bapak Depati Bahrin dan ibunya bernama Dakim. Mereka berdua bahu membahu memimpin perjuangan rakyat Bangka melawan pemerintah Hindia Belanda sejak Tahun 1848 Masehi, hingga dibuang ke Kupang keresidenan Timor pada Tahun 1851 Masehi. Oleh keluarga di Kupang, Hamzah atau Tjing sering disebut Depati Tjing (misalnya dalam surat Hamzah Bahren bin Abdul Wahab Bahren bin Hamzah (Tjing) pada tanggal 17 November 1950 yang ditujukan kepada Abdurrahman Jr, bin Mukmin anak Sajidah (Djieda), saudara perempuan Depati Amir dan Hamzah di pulau Bangka, Hamzah bin Bahren disebutnya dengan Depati Tjing.
Hamzah atau Tjing di keresidenan Timor menikah dengan Raden Ayu Siti Wardinah dan memiliki anak Abdul Wahab Bahren serta memiliki cucu yang salah satunya bernama Hamzah Bahren. Raden Ayu Siti Wardinah istri Tjing/Hamzah Bahren merupakan puteri dari Syech Raden Mas Muhammad Musa Wiryodikromo Alquranain yang merupakan tokoh penyebar Islam di Kupang dan berasal dari Surakarta. Salah satu sebab pernikahan karena jasa Depati Amir dan Hamzah membebaskan salah satu puteri Syech Raden Mas Muhammad Musa Wiryodikromo Alquranain yang ditahan tuan tanah Bakikoy dari daerah Bipolo sekitar Tahun 1860 Masehi (Muhammad Bahren, 2006). Di keresidenan Timor, Amir dan Hamzah/Tjing menggunakan Fam Bahren (Depati Bahrin). Masyarakat Kupang lebih kental menyebut Depati Bahrin dengan sebutan “Bahren”. Penyebutan nama marga di Kupang biasa disebut dengan “fam”, yang menunjukkan pengaruh dari bahasa Belanda. Kata “fam” berasal dari kata familienaam yang berarti "nama keluarga".
Pada saat perjuangan di pulau Bangka dan saat dibuang ke keresidenan Timor, usia Tjing/Hamzah masih sangat muda belia sekitar 19 Tahun. Salahsatu tindak kepahlawanan penting yang dilakukan oleh Tjing atau Hamzah dengan pasukannya adalah melakukan penyerangan terhadap pos militer Belanda di daerah Ampang (sekarang masuk wilayah Kelapa), dibantu oleh batin setempat Demang Suramenggala pada bulan Juli 1850. Dalam serangan yang dilakukan, markas militer Belanda di Ampang berhasil dilumpuhkan (laporan surat Residen Bangka kepada Gubernur Jenderal, Belinju 26-1-1851/ XIV-A; ANRI:BL: 25-3-1851 No.13 hal.8). Serangan terhadap pos atau markas militer adalah tindakan yang luar biasa berani dan membuat pemerintah sipil dan militer di Keresidenan Bangka marah, karena merupakan tindakan makar dan mempermalukan pemerintah Hindia Belanda.
Tjing atau Hamzah adalah salah satu pejuang Bangka yang dihukum dengan pembuangan ke Kupang di Keresidenan Timor. Hukuman terhadap Tjing ditetapkan berdasarkan Keputusan Pemerintah tanggal 22 April 1851, Nomor 21 (ANRI:Bt.22 April 1851 No.21). Dalam diktum Ketiga besluit dituliskan; Ditetapkan dibuang seumur hidup ke Timor kepala pemberontak Tjing, Akiep, Awang, mereka disana akan ditangani makannya, berdasarkan Besluit 4 Februari 1851 Nomor 3, yang ditetapkan pula untuk Amir dan keluarganya. Selanjutnya dalam diktum Keenam besluit tanggal 22 April 1851 Nomor 2 tersebut juga tertulis; a). Residen Batavia menyampaikan kepada Residen Bangka, bahwa uang dan barang- barang berharga milik Tjing akan diserahkan kembali oleh Residen Timor; b). Residen Timor memberikan kembali uang dan barang-barang berharga kepada Tjing.
Selama dalam menjalani hukuman pembuangan di Keresidenan Timor, Tjing atau Hamzah memiliki keahlian mengobati orang sakit, terutama masyarakat yang mengidap penyakit Cacar. Keahliannya tersebut sangat luar biasa dan diakui oleh dokter sipil Belanda di Kupang dan karena keahlian tersebut Tjing kemudian diangkat dengan Keputusan tanggal 4 Maret 1871, Nomor 18 (stbl. Nomor 24) sebagai tukang/Mantri Cacar untuk sebagian wilayah pulau Rote. Pengangkatan tersebut menjadi polemik bagi pejabat pemerintah Hindia Belanda, karena apakah boleh mempekerjakan orang tahanan buangan menjadi pegawai negara dan diberikan gaji oleh negara. Terkait polemik pengangkatan Tjing atau Hamzah sebagai pegawai negara tukang/Mantri Cacar dapat dipelajari dari Surat Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan Tangan kepada Gubernur Jenderal, Batavia, tanggal 13 Maret 1876, Nomor 2785 (ANRI:Bt. Ag 17-31895-531,t2g.ag 1895/11055): “Pelaku Tjing, datang dari Bangka, karena memberontak dibuang ke Timor berdasar besluit pemerintah tanggal 22 April 1851 Nomor 21, oleh residen di wilayah itu diusulkan menjadi tukang/Mantri Cacar, ditempatkan di pulau Rote. Di sana orang itu, menurut kesaksian dokter sipil di Timor Kupang, memuaskan kemampuannya untuk diberi jabatan pegawai tukang/Mantri Cacar, tidak berkeberatan adanya, Ia adalah orang yang cocok untuk itu, diangkat seperti itu, betul atau tidak, pada saya ada pertanyaan, apakah tidak dilarang dalam keadaan buangan, orang yang dinyatakan salah, diperintah melakukan pekerjaan sebagai pegawai negara. Oleh karena saya mohon kepada anda yang terhormat untuk tujuan baik baginya itu untuk diumumkan”.
Surat dari Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan Tangan, kemudian dibalas oleh Direktur Kehakiman yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal, Batavia, tanggal 20 April 1876, Nomor 2242/4317 (ANRI: mgs 4 Mei 1876/1073,t2g.ag.1895/11055). Dalam surat Direktur Kehakiman dinyatakan berbagai pertimbangan dan analisa hukum terkait hukuman pembuangan bagi Tjing dan pengangkatannya sebagai pegawai negara dalam status sebagai orang hukuman. Direktur Kehakiman dalam suratnya tersebut memberikan pertimbangan: “...Tjing pantas duduki jabatan penjaga pelayanan sebagai tukang/Mantri Cacar, dan oleh karena bagi saya tak ada ketetapan lain”.
Setelah selama sekitar 35 Tahun menjalani hukuman pembuangan seumur hidup di keresidenan Timor, Tjing atau Hamzah yang saat itu diperkirakan berusia 54 Tahun, mempertanyakan statusnya sebagai orang buangan karena hukuman seumur hidup telah Ia jalani dan memohon kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk mentiadakan lagi statusnya sebagai orang buangan (dan keinginannya untuk kembali ke pulau Bangka) melalui suratnya yang ditulis di Baa, pulau Rote, 20 Juni 1886. Dalam surat tersebut Tjing juga menjelaskan, bahwa dirinya berdasarkan surat Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 1 Februari 1884 Nomor 7 telah dilepaskan dengan hormat dari tugas negara sebagai tukang/Mantri Cacar (setelah sekitar 13 Tahun bertugas) dan mendapatkan uang pertolongan/bantuan tiap bulan f 7,50. Dalam suratnya Tjing juga menjelaskan, bahwa dia kemudian diangkat menjadi kepala kampung Solor, Baa, pulau Rote di Keresidenan Timor.
Terhadap keinginannya mentiadakan lagi statusnya sebagai orang buangan (keinginan untuk kembali ke pulau Bangka) dijelaskan dalam surat Residen Timor yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal, Kupang 13 Juli 1886/1283 (ANRI:t2g.ag 1895/11055) diketahui bahwa Tjing sudah 35 tahun berada di pengasingan dan keinginannya untuk kembali ke Bangka serta permohonannya berhenti dari tugas negara. dalam surat tersebut dijelaskan, bahwa tempat tinggal tetapnya ditunjuk kampung Baa pulau Rote, dan dia diakui sebagai “penduduk Timur Asing” (vreemde oosterlingen), dan oleh pemerintah dipilih dan disahkan sebagai kepala kampung. Adalah yang utama dalam fungsi itu, bahwa Ia dalam hubungan dengan pengetahuannya tentang keadaan setempat dan untuk kepentingan pemerintah di dalam pulau Rote, memberitahukan dalam waktu yang tepat perkembangan yang muncul di dalam pulau untuk ketenteraman dan ketenangan umum.
Menjawab permohonan Tjing, Residen Timor, kemudian meminta pertimbangan Residen Bangka terkait keinginan kembalinya Tjing ke pulau Bangka. Residen Bangka dalam suratnya ke Gubernur Jenderal, Muntok, tanggal 19 November 1886, Nomor 2414 (ANRI: KL 26-11-1886 Nomor 20343,t2g ag 1895, Nomor 11055) dan Nota dari Sekretaris Pertama Pemerintah, tanggal 11 Agustus 1886, Nomor 14154, bahwa “Konsideransi dan saran dari Residen Bangka, walaupun tidak takut atas kembalinya ke wilayah ini dari pemohon (Tjing), saya berkeberatan, dapat dijelaskan, bahwa pribumi ini masih berbahaya, demi ketenangan dan ketertiban umum, namun tak diingkari munculnya Tjing di Bangka mungkin menjadi sensasi besar bagi rakyat, dan kemungkinan ada, lebih lanjut berkeberatan atas kehadirannya. Ingatan masyarakat pada pembuangan famili (keluarga) Depati Bahrin sama sekali tidak padam, Tjing cenderung akan mudah menggunakan pengaruhnya...”. Tampaknya walaupun dalam usia yang lanjut 54 tahun serta menjalani hukuman selama 35 Tahun, pemerinah Belanda di Keresidenan Bangka masih khawatir akan pengaruh dari Amir dan Hamzah atau Tjing bila kembali ke Bangka.
Terkait keberatan Residen Bangka di Muntok atas keinginan kembalinya Tjing ke pulau Bangka, beberapa orang (sejumlah 98 orang) dari Sampan distrik Merawang (kampung Sempan sekarang dulu bernama Sampan) berkirim surat ke Residen Bangka di Muntok pada tanggal 19 November 1888 yang isinya memohon kepada residen Bangka kiranya berkenan membantu mengizinkan Tjing kembali ke pulau Bangka karena mereka berkeinginan dan suka untuk bertemu dengan Abang Tjing. Pemerintah Belanda setelah melalui berbagai macam pertimbangan, kemudian mengeluarkan besluit yang ditandatangani di Buitenzorg (Bogor) pada tanggal 4 Desember 1886, Nomor 5/C yang menyatakan, bahwa permohonan tertulisnya Tjing untuk kembali ke Bangka dan peniadaan statusnya sebagai orang buangan ditolak.
Kerinduan Tjing untuk kembali ke pulau Bangka tidak pernah surut. Surat permohonanpun kembali disampaikan Tjing 5 tahun berikutnya kepada Gubernur Jenderal di Bogor pada tanggal 4 Juli 1891, disaat usianya sekitar 59 Tahun dan dalam suratnya dijelaskan, bahwa Ia sudah menjalani hukuman pembuangan lebih dari 40 tahun (hukuman seumur hidup sudah dilampaui) akibat kesalahannya melawan pemerintah Hindia Belanda di pulau Bangka dan memohon izin pulang sementara untuk melepas warisannya (menyelesaikan waris mewaris). Berdasarkan surat Rahasia Residen Bangka kepada Gubernur Jenderal, Muntok 21-8-1891, Nomor 2202/A (ANRI: ag 27-8-1891 Nomor 16717, t2g ag 1895/1105) diketahui penjelasan dan pertimbangan akan ketakutan residen Bangka atas kembalinya Tjing dan kuatnya pengaruh Tjing bagi masyarakat Bangka, sebagai berikut....”memang penduduk pribumi Bangka dikenal baik, sepertinya sangat lembut tabiatnya, sungguh tak takut adanya pemberontakan, lebih-lebih pemerintah kami di sini sekarang kuat, tapi penduduk asli karena perkawinan, tercampur dengan unsur-unsur dari luar seperti keturunan dari pelarian orang-orang Palembang, bajak laut (lanun) dari Jambi dan Lingga, tawanan negara tersebut, dan masih ada keadaan lain yang banyak diomongkan. Seperti misalnya, masih ada orang-orang yang didapati menjalani hidup di luar hukum yang berlaku misal berdagang Candu secara licik (perdagangan gelap). Satu dan lain hal adalah benar, bahwa disuatu wilayah ada kelompok yang menginginkan Tjing kembali, adanya ketidakpuasan kepada kelompok orang-orang Cina dibebaskan dari kerja wajib, secara lisan disampaikan oleh pendahulu saya sangat besar, sedang di sisi lain ada usaha untuk mendapat pengecualian bagi orang-orang Cina daripada pribumi yang ada. Sekarang di kalangan pribumi dikenal, bahwa sesuai dengan ordonansi tanggal 9 Juli 1891 (stbl.1891 Nomor 171) setelah tanggal 1 Januari 1892 tak diadakan lagi kerja wajib bagi orang timur asing (Cina, Arab, Jepang, India), akan lebih meningkat lagi rasa ketidakpuasan itu. Sangat pasti akan menguat, dan muncul suatu letusan. Didasarkan semua hal tersebut di atas, saya haturkan kepada anda yang terhormat saran untuk menolak permohonan yang diajukan”.
Permohonan tertulis Tjing atau Hamzah untuk kembali sementara ke Bangka berdasarkan surat permohonan yang ditulisnya di Kupang tanggal 4 Juli 1891, kemudian berdasarkan besluit pemerintah Hindia Belanda, Buitenzorg (Bogor), tanggal 11 September 1891 Nomor 18 (ANRI: Bt. 11 September 1891, Nomor 18; t2g ag 1895/11055) dinyatakan ditolak. Ternyata hukuman pembuangan seumur hidup yang dijatuhkan kepada Tjing atau Hamzah berdasarkan Keputusan Pemerintah, tanggal 22 April 1851 Nomor 21 (ANRI:Bt.22 April 1851 No.21) adalah hukuman pembuangan selamanya sampai beliau meninggal di kupang pada tanggal 12 Maret 1903 bertepatan dengan tanggal 12 Dzulhijjah 1320 Hijriah dalam usia 71 Tahun. Tjing dimakamkan di pemakaman muslim Batukadera Kupang, saat ini pada makam Hamzah atau Tjing hanya terdapat satu nisan tanpa keterangan.***
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: