Bahasa Belitung dalam Eksplorasi dan Pelestariannya

Bahasa Belitung dalam Eksplorasi dan Pelestariannya

I Nyoman Pasek Darmawan, M.Pd. , Dosen Sastra Inggris Universitas Bangka Belitung--

Oleh I Nyoman Pasek Darmawan, M.Pd.
Dosen Sastra Inggris Universitas Bangka Belitung

Exploration Means Saving and Preserving the Language. Slogan yang terinspirasi dari judul buku cerita petualangan karya Megan Kate Nelson “Exploration and Preservation in Reconstruction America: Saving Yellowstone” tersebut rasanya tepat disematkan sebagai salah satu strategi kebudayaan dalam upaya pelestarian atau pengenalan Bahasa di dalam kehidupan masyarakat yang bercirikan keterbukaan melalui globalisasi dan teknologi informasi yang canggih layaknya dewasa ini. Kecanggihan teknologi, khususnya dalam pengaksesan atau penggunaan Bahasa terutama Bahasa asing, dapat mengubah orientasi masyarakat terhadap kebahasaan dan kesastraan Bahasa daerah.

Tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang kita rasakan atau lihat, apa yang terjadi, serta apa yang menjadi impian kita di masa depan tidak terlepas dari pengaruh akumulasi sejarah kebudayaan yang tidak pernah berhenti pada suatu titik tertentu. Kehidupan manusia yang selalu bergulir atau bergerak menuju atau mengikuti perkembangan zaman telah mengarahkan kita ke tatanan-tatanan baru yang bukan tidak mungkin akan menggeser khazanah budaya yang ada pada suatu waktu. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa masyarakat menjadi sasaran sekaligus pelaku dalam proses pembangunan serta kemajuan sebuah bangsa. 

Filsuf kebudayaan Van Peursen menjelaskan bahwa strategi kebudayaan yang disebutkan pada bagian awal tadi merupakan usaha manusia untuk menggali lebih dalam jawaban-jawaban yang tepat guna dapat dipertanggungjawabkan untuk menjadi tameng atau perisai terhadap pertanyaan-pertanyaan besar yang berkaitan dengan hidup manusia. Budaya sebagai identitas manusia tidak hanya terfokus pada kegiatan-kegiatan akbar yang terjadi setahun sekali atau enam bulan sekali atau bahkan 5 tahun sekali. Pada dasarnya, akar suatu budaya adalah semua nilai-nilai adat istiadat, perilaku, tradisi maupun pola pikir yang hari demi hari mengalami penguatan dan acceptance pada lingkungan kehidupan manusia itu sendiri. 

Ini adalah sebagian topik hangat yang saya bicarakan dengan salah satu pemerhati sekaligus budayawan dan sastrawan Bahasa Belitung, Fithrorozi, pada Juni 2018 di kediaman beliau di Tanjung Pandan, Belitung. Menurutnya, salah satu faktor utama dalam pencirian identitas suatu budaya adalah keterlibatan Bahasa di dalamnya. Di era yang serba digital ini, banyak kalangan masyarakat khususnya anak-anak muda Belitong terutama mulai menunjukkan proses peralihan atau asimilasi Bahasa. Bahkan tidak sedikit yang sudah mulai bergeser ke Bahasa nasional maupun internasional dalam kegiatan percakapan sehari-harinya. Hal ini tentunya tidak luput dari pengaruh perkembangan zaman yang makin liar dan tidak terbendung. 

Selain itu, kajian-kajian ilmiah yang mengandung informasi terkait Bahasa Belitung lambat laun mulai terkikis mengingat pemerhati budaya dan Bahasa ini sudah mulai berangsur-angsur berkurang, bahkan karya-karya mereka pun ada yang hilang tanpa sempat diarsipkan karena kurangnya pengelolaan dan juga tidak adanya suatu renaisans budaya dan Bahasa. Sejalan dengan hal ini, proses peralihan atau asimilasi Bahasa yang secara perlahan-lahan terjadi baik secara voluntarily or involuntarily yakni sukarela atau tidak sukarela akan mengarah kepada apa yang dinyatakan oleh Janet Holmes, seorang ahli sosiolinguistik asal Selandia Baru, sebagai language loss dan language death. Memang kedua istilah ini tidak terjadi dalam waktu yang singkat. Namun, Holmes menyebutkan jika pergeseran Bahasa yang terjadi dari waktu ke waktu selama beberapa generasi tetap berlangsung, maka fungsi Bahasa awal suatu daerah atau komunitas akan diambil alih oleh Bahasa lain dikarenakan penutur dari Bahasa yang akan punah tersebut menjadi kurang mahir dan kompetensi Bahasanya akan hilang secara bertahap. 

Secara tidak sengaja, apa yang yang dilakukan beberapa penduduk Belitung menunjukkan gejala-gejala awal dari language shift atau peralihan Bahasa. Perubahan-perubahan dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial bisa saja terjadi di dalam suatu komunitas, dan hal ini juga berakibat pada perubahan kebahasaan atau linguistic changes. Dalam karyanya, Nicholas Ostler menyebutkan bahwa kehidupan komunitas atau masyarakat yang dinamis menyebabkan mereka mengalami atau menemukan kode-kode Bahasa tertentu sebagai penanda identitas atau supaya dapat masuk ke dalam anggota komunitas lainnya. 

Mungkin sebagian dari kita juga terlibat secara tidak langsung dalam upaya pergeseran Bahasa Belitung. Pengalaman, koneksi dalam dan luar negeri, mobilisasi kehidupan, atau bahkan kegiatan online shopping yang membutuhkan kemampuan Bahasa di luar Bahasa lokal seakan-akan tertanam dalam memori kita dan tumbuh menjadi tacit knowledge yang secara bertahap kian membenamkan apa yang kita sebut sebagai strategi budaya dalam mempertahankan budaya dan Bahasa lokal kita, khususnya Bahasa Belitung. 

Di luar hal-hal tersebut, faktor lainnya yang berperan juga terlihat dari mati suri nya peningkatan naskah-naskah klasik maupun akademik tentang Bahasa Belitung. Kalau membahas sejarah Pulau Belitung, beragam karya asli berbahasa Belanda maupun Indonesia terdapat di Perpustakaan Daerah Kabupaten Belitung. Namun, tentang Bahasa Belitung itu sendiri masih sangat sedikit. Penelitian yang menjadi bagian dari proyek penelitian kebahasaan dan kesastraan khususnya Bahasa Belitung telah lama berhenti. Terakhir, dokumen terkait kajian Bahasa Melayu Belitung diterbitkan pada tahun 2002 oleh Siti Salamah Arifin, Tarmizi Abubakar, dan Zahra Alwi sebagai upaya memperkaya bacaan tentang penelitian Bahasa Belitung dari segi keilmuan Bahasa atau linguistics. 

Sejalan dengan fenomena yang terjadi tersebut, berbagai upaya sejatinya telah dilakukan untuk mewujudkan proses keberlanjutan pelestarian Bahasa Belitung sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari budaya manusia Belitung. Untuk mencapai tujuan itu, diseminasi hasil-hasil penelitian kebahasaan dan kesastraan melalui penerbitan buku maupun jurnal-jurnal sangatlah penting. Masalahnya, belum banyak peneliti-peneliti dari bidang akademis maupun non akademis seperti budayawan yang melakukan kegiatan eksplorasi Bahasa ini. Haruskah kita hanya diam dan menunggu asimilasi Bahasa berjalan secara bertahap hingga kita kehilangan Bahasa itu sendiri? 

Bahasa Belitung sebagai budaya asli masyarakat Pulau Belitung patut diperhitungkan dan dikenal oleh masyarakat di luar pulau itu sendiri maupun dunia internasional. Seperti layaknya Bahasa Bali yang sudah banyak dituturkan oleh wisatawan mancanegara atau Bahasa Jawa yang sudah menjadi sebuah studi yang diterapkan di Australia. Bukan tidak mungkin suatu saat Bahasa Belitung akan mendunia diperhitungkan dari sisi kebahasaan maupun kebudayaannya. 

Dari sisi kebudayaan, karya-karya sastra seperti kumpulan cerita-cerita rakyat Belitung dengan latar belakang mitologi maupun kehidupan nyata yang diterbitkan dalam wujud naskah-naskah akademik maupun non akademik merupakan hal wajib yang perlu ditingkatkan. Salah satu karya sastra dalam bentuk buku yang saya rasa sangat luar biasa menceritakan kehidupan masyarakat dari sisi politik, ekonomi, dan sosial daerah Belitung adalah milik maestro atau budayawan Fithrorozi yang berjudul “Ngenjungak Republik Kelekak”. Sebuah karya yang sangat relevan dengan kehidupan masyarakat sekarang di mana setiap episodenya diceritakan dengan menggunakan Bahasa Belitung. Banyak istilah-istilah yang mungkin sebagian besar orang Belitung tidak mengetahui makna dibalik itu, namun Fithrorozi melengkapinya di bagian glosari buku ini. Selain itu, studi mengenai sastra lisan Bahasa Melayu Belitung karya Zainal Arifin Aliana juga menambah wawasan dalam rangka pembinaan dan pengembangan Bahasa Belitung. 

Dari segi kebahasaan, kajian-kajian ilmiah yang menggali struktur kata maupun kalimat dalam Bahasa Belitung juga tidak kalah pentingnya untuk diperbanyak dan disebarluaskan sebagai buku pedoman dan hasil penelitian. Dalam bidang penelitian, Pusat Bahasa yang merupakan bagian Proyek Penelitian dan Kesastraan Indonesia memang telah mengkaji Bahasa Belitung dari segi struktur kata atau kalimatnya, namun, dokumen fisik maupun elektroniknya sangat terbatas dan sulit untuk dicari di mesin pencarian Google. Ketersediaan naskah-naskah mereka di Perpustakaan Daerah Kabupaten Belitung juga terbatas sehingga sulit agar dapat dimanfaatkan oleh para ahli dan anggota masyarakat luas. 

Penelitian terkait Bahasa Belitung terakhir dilakukan pada tahun 1986 oleh Syahrul Napsin dan kolega-koleganya. Namun, yang namanya ilmu pengetahuan selalu berkembang dan tidak terhenti pada suatu titik tertentu saja. Salah satu penelitian terbaru terkait Bahasa Belitung telah dilakukan dan diseminasikan pada tahun 2021 dan 2022 dalam bentuk jurnal ilmiah oleh I Nyoman Pasek Darmawan dan Vindi Kaldina, dua orang peneliti yang merupakan dosen di Universitas Bangka Belitung. Dalam penelitiannya, hasil-hasil kajian terdahulu kemudian dikembangkan ke dalam hal-hal lain dengan menggunakan teori-teori yang relevan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: