Kampung Dul dan Abdullah Djalil
Akhmad Elvian - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan--
Diceritakan kembali dari Tuhfat al-Nafis: “Panglima Raman merampok dari Bangka ke Jawa, membawa banyak tahanan dan membawa mereka ke Lingga. Pada saatnya orang-orang Bangka datang untuk menikmati hidup di Lingga dan mereka mendirikan kebun-kebun dan kampung-kampung dan tidak mau kembali lagi. Kadang-kadang kerabat mereka berasal dari Bangka tidak melalui perampokan tetapi secara sukarela dan menyerahkan diri kepada sultan Mahmud, dengan demikian kemudian Lingga menjadi padat penduduknya”.
Sangat mungkin yang dimaksudkan dengan orang Bangka yang datang secara sukarela ke Lingga adalah keluarga Abang Tawi di Mentok yang dihukum sultan Palembang. Mereka pindah ke Lingga dipimpin oleh Abang Abdoelraoef, putera Abang Tawi. Saat itu hampir separuh penduduk Mentok telah siap berangkat pindah ke Lingga, akan tetapi sultan kemudian mengutus seorang Arab bernama Said Ali Bin Syeikh membujuk sebagian keluarga jauh Abang Tawi untuk tetap tinggal di Mentok.
Orang Mentok yang pindah ke Lingga dibantu oleh Panglima Raman dan kemudian ditempatkan di pulau Singkep. Orang-orang Mentok keluarga abang Tawi, kemudian secara sembunyi-sembunyi banyak membawa orang-orang dari Sungailiat dan Merawang untuk menambang Timah di Singkep. Pada Tahun 1793 Masehi, Panglima Raman menaklukkan Koba (Horsfield, 1850:52;224), beberapa lama kemudian menaklukkan dan menguasai Pangkalpinang selama berbulan-bulan.
Seorang Arab bernama ABDULLAH DJALIL, kemudian berhasil mengusir Panglima Raman dan mengembalikan Pangkalpinang ke dalam kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam. Penamaan atau toponimi wilayah geografis KAMPUNG DUL dalam wilayah distrik Pangkalpinang yang unik yaitu menggunakan kata DUL berasal dari nama tempat tinggal Abdullah Djalil, yaitu seorang tokoh yang hebat yang berhasil mengusir Bajak laut dari distrik Pangkalpinang.
Dalam Kaart van Het Eiland Banka, J.W. Stemfoort,1885, kampung Dul yang berada di sisi Selatan Pangkalpinang sudah terhubung dengan jalan darat ke kampung Betoer, dan kampung Semabung. Pada sisi selatan Kampung Dul terdapat Gunung Doea Ajam dan kampung Ajer Mesoe, sedangkan di sisi Tenggara, kampung Dul terhubung dengan jalan darat menuju kampung Sambong dan Pangkoel setelah melewati sungai Mesoe.
Pada sisi sebelah Barat, kampung Dul berbatasan dengan Sungai Pedindang. Berdasarkan Kaart van het Eiland Banka (cartographic material) volgens de topographische opneming in de jaaren 1852 tot 1855, karya L. Ullman dan diterbitkan di Batavia pada Tahun 1856 Masehi, dalam peta yang lebih detil karena disusun oleh ahli topografi Belanda L. Ullman, digambarkan, bahwa pada sisi Selatan kampung Dul terdapat bukit Pau dan bukit Boengkoean dan pada sisi Timur Kampung Dul terdapat Aik Kerasak.
Karena luasnya wilayah pulau Bangka dan dalam rangka pengamanan parit-parit penambangan Timah dan pangkal-pangkal tempat kedudukan demang sebagai sumber utama kekayaan Kesultanan Palembang Darussalam dari serangan Bajak laut dan serangan dari Kesultanan Johor dan Lingga, maka Sultan Muhammad Bahauddin (masa pemerintahan Tahun 1776-1803 Masehi), membagi wilayah pemerintahan di pulau Bangka atas dua wilayah yaitu wilayah bagian Utara dan Barat pulau Bangka dan wilayah bagian Selatan pulau Bangka termasuk pulau Lepar, pulau Liat/pulau Leat dan pulau Belitung.
Sultan menetapkan wilayah bagian Utara dan Barat pulau Bangka berpusat di Mentok dengan batas ke Timur sampai sungai Kampak dan batas ke arah Selatan sampai ke Tempilang. Wilayah Utara dan Barat pulau Bangka dikuasakan oleh Sultan Palembang kepada Abang Ismail bergelar Tumenggung Kerta Menggala (menggantikan Abang Pahang Tumenggung Dita Menggala).
Selanjutnya ditetapkan wilayah yang terletak di bagian Selatan pulau Bangka berpusat di pangkal Toboali dengan wilayah yang cukup luas, termasuk kepulauan Lepar dan pulau Belitung. Wilayah Selatan pulau Bangka dikuasakan kepada Pangeran Adiwijaya saudara Sultan Muhammad Bahauddin atau putera dari Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin I Adikesumo. Para pangeran dari Palembang, Raden Keling, Raden Ahmad, Raden Badar, Raden Ali dan Raden Sa’bah yang merupakan kerabat dekat sultan, kemudian diutus ke wilayah Bangka Selatan untuk mengatasi serangan bajak laut dan menjadi kepala-kepala rakyat di Bangka Selatan.
Kemungkinan besar, benteng di kampung Penutuk dengan tiga meriam yaitu Si Kumbang, Si Perling dan Si Penyengat merupakan meriam yang dipasang untuk pertahanan dari serangan bajak laut. Sultan Palembang juga kemudian mengutus Kemas Ismail, Ngabehi Hasan, Ngabehi Abdullah dan Raden Djakfar untuk mengamankan wilayah Utara dan Barat pulau Bangka. Raden Djakfar merupakan putera dari Sultan Ahmad Najamuddin I Adikesumo (memerintah Tahun 1757-1776) yang menikah dengan perempuan Mentok Yang Maryam.(***)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: