Pembentukan Pangkalpinang (Bagian Lima)
Akhmad Elvian - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan--
Salah satu kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda setelah berakhirnya perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir adalah kebijakan memisahkan pemukiman penduduk pribumi Bangka dengan pemukiman pekerja-pekerja tambang dari Cina. Umumnya pekerja-pekerja tambang tinggal dan membentuk perkampungan sendiri dibekas penambangan timah (verlaten mijn).
Beberapa perkampungan Cina yang didirikan dibekas penambangan timah masih kita temukan di pulau Bangka hingga sekarang, seperti kampung-kampung yang ada di Kota Pangkalpinang yaitu Nai Si Puk (kampung Bintang), Yung Fo Hin (kampung Semabung), Sung Sa Thi (kampung Pasirputih), Thiat Phu (kampung Besi), Parit Lalang, Parit Baciang (Bacang), Con Jau (Pangkalbalam), Liuk Ho (kampung Parit Enam), Thai Hin (kampung Semabung Ujung) dan Si luk (kampung Parit 46).
Perkampungan Cina juga terbentuk di dekat lokasi tidak jauh dari bekas penambangan timah seperti kampung Tjina dan kampung Katak. Kampung Tjina berada di sisi Selatan sungai Rangkoei dan di sisi Utara kampung Bintang (Nai Si Puk), serta di sisi Timur kampung Dalam. Kampung Tjina pada sekitar akhir abad 19 kemudian berkembang menjadi kawasan pasar Pangkalpinang.
Sementara itu kampung Katak yang terletak di sisi Utara sungai Rangkoei dan pada sisi Selatan kampung Djawa, awalnya merupakan pemukiman penduduk dan pada bagian Selatannya dekat sungai Rangkoei merupakan kawasan pelabuhan dengan beragam aktivitasnya, pada perkembangan berikutnya karena terletak diantara kampung Tjina dan kampung Djawa serta kawasan civic centre, kampung Katak lambat laun juga berkembang menjadi kawasan perdagangan.
Pemerintah Kolonial Belanda juga menempatkan pemukiman orang-orang Cina di ujung atau di pinggir agak ke dalam dari perkampungan penduduk pribumi karena umumnya orang Cina disamping berkebun sayuran, menanam kelapa, berkebun lada dan mereka juga beternak unggas dan babi.
Wajah lama Pangkalpinang pada masa atau priode chineesche, ditandai dengan banyaknya pemukiman orang Cina di bekas penambangan dan pada lokasi pemukiman biasanya banyak dibangun gang-gang sempit, dengan beberapa tipe bangunan seperti rumah kongsi, rumah kepala parit dan rumah keluarga.
Berdasarkan Algemeen verslag der Residentie Banka over het jaar 1851 No.42, bahwa kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang membawa pengaruh besar bagi kondisi pulau Bangka pada akhir tahun 1851 Masehi, adalah kebijakan pembangunan jalan raya baru dan pemindahan kampung-kampung dari pedalaman dan pelosok pulau Bangka ke posisi kiri dan kanan jalan baru yang dibangun.
Kebijakan ini telah membentuk kampung-kampung yang terkonsentrasi di sepanjang jalan di pulau Bangka mencapai 232 kampung, termasuk 99 kampung lama dan 133 kampung baru yang dibangun. Pembangunan kampung tersebut diatur dengan ketentuan yaitu setiap tiga paal dibangun sebuah kampung kecil atau dusun dan setiap enam paal dibangun sebuah kampung besar.
Kampung kecil atau dusun terdiri atas 20 sampai 30 bubung rumah, dengan penduduk antara 80 sampai 100 jiwa, kemudian kampung besar terdiri atas 40 sampai 60 bubung rumah dengan penduduk berkisar antara 150 sampai 200 jiwa. Kampung kecil atau dusun biasanya dikepalai oleh seorang lengan sedangkan kampung besar dikepalai oleh seorang Gegading.
Pemerintah Kolonial Belanda sering menyebut Lengan dan Gegading dengan sebutan kepala-kepala pribumi. Pembentukan kampung-kampung bentukan Kolonial Belanda terus berkembang dan pada tahun 1896 tercatat sekitar 2.000 rumah terbangun dan terkonsentrasi di kiri dan kanan jalan pada perkampungan-perkampungan yang tersebar di pulau Bangka. Perkampungan dan jalan bentukan Belanda merupakan prototipe kampung-kampung dan jalan-jalan yang ada di pulau Bangka hingga saat ini (bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: