Batin Tikal Pejuang Dari Kampung Gudang (Bagian Tiga)

Batin Tikal Pejuang Dari Kampung Gudang (Bagian Tiga)

Oleh: Dato’Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung, Penerima Anugerah Kebudayaan

DR. F. Epp seorang ahli kesehatan bangsa Jerman yang pernah berkunjung ke Bangka dan bertemu dengan Depati Bahrin dan keluarganya mengatakan: ”Der Depatti Barin zeigte sich hier als ein tuchtiger Guerillafuhrer, indem er und sein Sohn, der Depatti Amir, sich stets unsichtbar zu machen wussten, wenn sie in die Enge getrieben waren”, terjemahannya kira-kira: ”Depati Bahrin menunjukkan dirinya sebagai pemimpin gerilya yang ulung; ia dan puteranya, Depati Amir, selalu dapat menghilang, bilamana mereka terdesak (Epp, 1852:219).

Karena hebatnya perlawanan rakyat Bangka, Pemerintah Hindia Belanda harus mendatangkan kesatuan kaveleri dari Legiun Raja Akil (Mayor Akil) dari Siak serta Kolonel Pangeran Ario Praboe Prang Wedono dari Legiun Mangkunegaran Jawa Tengah yang mengirimkan tiga puteranya ke Bangka yaitu Ritmeester (Kapten Kaveleri) Pangeran Ario Soerio Mataram, Letnan Satu Raden Ario Soerio Direjo dan Letnan Dua Raden Ario Soerio Midjojo, beserta dengan 70 ekor kuda serta kesatuan infanteri di bawah pimpinan Kapten Du Perron.

Legiun ini dibentuk secara resmi oleh Gubernur Jenderal Daendels dengan keputusan tanggal 29 Juli 1808 sebagai pasukan gabungan Perancis, Belanda dan Jawa. Legiun ini membawahi pasukan sebanyak 800 serdadu infanteri, 100 prajurit pelopor, 200 kaveleri berkuda dan 50 orang prajurit artileri.

Penugasan Legiun ini ke pulau Bangka merupakan pengalaman pertama bertempur di luar pulau Jawa. Legiun ini pula yang pada Tahun 1825-1830 berperang melawan pasukan Diponegoro dan pada Tahun 1873 berperang di Aceh. 

Letnan  Kolonel  Aukes  dalam  bukunya  Het  Legioen  Van  Mangkoe  Nagara mencatat, bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda G.A.G.Ph. Van der Capellen pada tanggal 28 Maret 1820 Masehi mengeluarkan besluit Nomor 10 yang memerintahkan pengiriman Detasemen Kaveleri Legiun Mangkunegaran ke pulau Bangka.

Dalam laporan tanggal 10 Mei 1820, Mayor Jenderal De Kock menjelaskan disiapkan kapal Minerva untuk mengangkut kontingen Legiun Mangkunegaran dari Semarang-Bangka. De Kock memberikan rincian personalia kontingen Legiun Mangkunegaran yang dikirim yakni seorang Letnan Dua bangsa Eropa dari Batalyon Infanteri ke-22 sebagai penanggung jawab administrasi, seorang Ritmeester (Kapten Kavaleri), seorang Letnan Satu dan seorang Letnan Dua, seorang Kapten Ajudan, 63 bintara dan tamtama.

Mereka dibekali 54 buah pedang kavaleri, 62 pucuk pistol, dan 310 kotak amunisi, 62 setel jaket militer dan celana. Sedangkan kontingen infanteri dari Batalyon ke-21 terdiri atas seorang Kapten, seorang Letnan Satu dan tiga Letnan Dua, seorang Sersan Mayor, empat Sersan Eropa, delapan Kopral Eropa, seorang Letnan Dua Bumiputera, 131 bintara dan tamtama Bumiputera. Keseluruhan ada 151 personel infanteri (Santosa, 2011:136-137). 

Dalam catatan tersebut dikatakan bahwa Legiun Mangkunegaran Jawa Tengah dikirim ke pulau Bangka untuk mengamankan perairan pulau Bangka dari keganasan Bajak Laut. Sebenarnya yang dimaksudkan dengan bajak laut disini adalah karena dalam peperangan Depati Bahrin beserta Batin Tikal, Demang Singayudha dan Juragan Selan selalu berpindah-pindah dengan taktik gerilya dari Bangkakota, Kotawaringin, Jeruk dan Menareh/Mendara, dan Depati Bahrin dan panglima perangnya sering berkumpul di daerah yang dikuasai oleh bajak laut.

Jadi yang dimaksudkan dalam catatan dan laporan Belanda, bahwa pengiriman pasukan dalam rangka menumpas bajak laut sesungguhnya adalah untuk menghadapi perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Bahrin beserta pengikut-pengikut setianya seperti Batin Tikal, Demang Singayudha dan Juragan Selan. 

Iwan Santosa dalam bukunya Legiun Mangkunegaran (1808-1942), menyatakan bahwa pasukan ini mengalami kesulitan bertempur di pulau Bangka karena perbedaan bahasa dengan penduduk setempat dan sulit mengenali lawan tempurnya siapa (katanya menumpas bajak laut dari Bangka) serta kesulitan dalam menggelar satuan kaveleri dan sulitnya mengurus kuda-kuda yang didatangkan dari pulau Jawa karena perbedaan iklim serta tidak terbiasanya pasukan ini tinggal di barak-barak sementara.

Letkol Keer sebagai residen merangkap pemimpin tertinggi militer di Bangka yang menggantikan M.A.P. Smissaert dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal tanggal 31 Desember 1820 Masehi, menyarankan pemulangan kembali Detasemen Kavaleri Legiun Mangkunegaran ke pulau Jawa. Diputuskan juga 37 ekor kuda Legiun Mangkunegaran yang tersisa dari 70 ekor yang dibawa dari pulau Jawa karena hampir sebagiannya mati di pulau Bangka, dibeli pemerintah Hindia Belanda seharga 1.113 gulden.

Selanjutnya, setelah surat menyurat antara Letkol Keer dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda diputuskan bahwa, Detasemen Legiun Mangkunegaran dikembalikan ke pulau Jawa dengan menumpang Kapal Jacoba (Santosa, 2011:138). 

Karena gigihnya perlawanan rakyat Bangka, pemerintah Hindia Belanda terpaksa harus melakukan berbagai upaya untuk menangkap Depati Bahrin, antara lain dengan memberikan hadiah uang sebesar 500 ringgit bagi siapa saja yang berhasil menangkap Depati Bahrin. Namun upaya yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda tidak berhasil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: