Tunjangan bagi Wartawan Bersertifikat

Tunjangan bagi Wartawan Bersertifikat

Dari sudut pandang ini, soal independensi menarik didiskusikan. Apakah Partai Keadilan Sosial (PKS) dan Partai Demokrat yang menjadi oposisi di parlemen pusat saat ini, kehilangan daya kritis dan ketajaman kontrol atas pemerintah hanya karena mendapat “tunjangan” dari negara? Jelas tidak. 

Apakah Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mendapat jatah dari APBD DKI Jakarta kehilangan daya kritis terhadap Gubernur Anies Baswedan? Ya sama sekali tidak. Kritik jalan terus.

Sama sekali tidak ada pengaruhnya. Sebab mereka tahu bahwa anggaran yang mereka dapat berasal dari pendapatan negara, seperti pajak-pajak ataupun sumber lain, yang di dalamnya juga mereka berpartisipasi melalui gagasan, pemikiran, atau kritik yang menyempurnakan berbagai keputusan pemerintah.

Saya kira bantuan negara bagi partai politik ini bisa disejajarkan dengan ide tunjangan bagi wartawan bersertifikat, meskipun itu masih jauh panggang dari api karena ada banyak langkah yang harus dilakukan dan belum tentu pula pihak dan aktor penentu memiliki sikap sama. 

Saat menjadi penguji di sebuah uji kompetensi wartawan, kepada saya sering ditanyakan soal ini. Mereka bilang, buat apa sertifikat kalau tidak ada manfaatnya. 

Saya jelaskan banyak manfaatnya, seperti posisi di depan hukum akan lebih pasti, dalam meliput akan mendapat kemudahan, dan menjadi penentu kedudukan struktural di ruang redaksi dll., tetapi itu dianggap tidak cukup. Harus ada nilai tambah yang jelas, kata mereka.

Dan kalau bicara tentang tunjangan sertifikasi wartawan entah mengapa dikaitkannya dengan sertifikasi guru, bukan profesi lain seperti dosen. 

Maka dalam suatu kesempatan ketika topiknya sedang menghangat, saya sempat bertanya kepada Ketua Dewan Pers (2019-2022) Mohammad Nuh karena beliau pernah menjadi Menteri Pendidikan Nasional.

Jawabannya sederhana, tunjangan bagi guru bersertifikat merupakan amanat Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 

Ada beberapa pasal terkait di sini, yakni Pasal 14 tentang hak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial; Pasal 15 tentang jenis-jenis penghasilannya yang salah satunya adalah tunjangan profesi; dan Pasal 2 bahwa pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga professional dibuktikan dengan sertifikat pendidik.

Selain undang-undang di atas ada produk turunan berupa Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 12 tahun 2017 sebagai petunjuk pelaksanaan yang mengatur penyaluran tunjangan dan syarat bagi calon penerima tunjangan, yang diatur secara jelas dan terperinci.

Lalu bagaimana dengan tunjangan profesi wartawan?

Di dalam Undang-undang Nomor 40 tentang Pers, sama sekali tidak diatur kewajiban negara terkait kesejahteraan wartawan. Karena lahir di masa euphoria reformasi, semangatnya adalah bebas dari pemerintah, pers harus mampu dan mengatur diri sendiri. 

Di Pasal 10 dikatakan, Perusahaan Pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya. 

Jadi, nyawa wartawan bergantung pada perusahaan pers. Bagaimana kalau perusahaan pers tidak mampu memberi kesejahteraan bagi wartawannya? 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: