Menggugat Republik: Mana Yang Layak Sejahtera, Antara Guru-Guru Honorer atau Birokrat dan Oligarki?

Selasa 08-07-2025,07:53 WIB
Reporter : Handika Yuda Saputra
Editor : Jal

Oleh: Handika Yuda Saputra, S.Pd., M.Pd

Sekretaris Umum DPD IMM Bangka Belitung

___________________________________________

Di negeri yang mengaku menjunjung tinggi keadilan sosial, sering kali logika keadilan justru dibungkam oleh kekuasaan dan kapital. Republik ini setiap tahun memproduksi pidato tentang pentingnya pendidikan, tentang guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, tentang anak bangsa sebagai harapan masa depan. Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan hal yang bertolak belakang: guru-guru honorer yang telah bertahun-tahun mengabdi dengan upah jauh di bawah standar hidup layak, tetap diperlakukan sebagai warga kelas dua, sementara birokrat gemuk dan para oligarki menikmati gemerlap kekayaan dan kenyamanan dari sistem yang mereka bangun sendiri. Lalu siapa sebenarnya yang lebih layak sejahtera, guru-guru honorer atau birokrat dan oligarki?

Guru honorer adalah simbol paling konkret dari pengkhianatan sistem terhadap pekerja-pekerja berintegritas. Mereka mengajar di ruang kelas yang pengap, berangkat dari rumah tanpa kepastian gaji bulanan, dan tetap setia mendidik meski digaji tiga ratus ribu rupiah sebulan, jumlah yang bahkan tak cukup untuk membeli bensin dan makan sederhana sebulan penuh. Mereka hadir dalam sistem pendidikan tanpa perlindungan hukum yang jelas, tanpa jaminan hari tua, tanpa akses pelatihan yang memadai. Namun tetap berdiri di depan kelas, dengan tekad membangun masa depan anak-anak bangsa. Jika ada yang mewakili wajah sejati pengabdian, maka guru honorer adalah sosoknya.

Birokrat dan oligarki hidup dalam sistem yang melayani kepentingan mereka. Birokrat berkuasa duduk di kursi empuk ber-AC, dengan gaji, tunjangan, fasilitas mobil dinas, perjalanan dinas, dan dana proyek yang sering kali menjadi lahan korupsi terselubung. Oligarki, melalui jejaring bisnis dan politik, mengendalikan kebijakan demi menumpuk kekayaan pribadi dan kelompok. Negara, dalam banyak hal, tampak lebih berfungsi sebagai instrumen pelindung status quo mereka daripada sebagai penjaga hak rakyat kecil. Mereka tidak perlu mengajar di desa terpencil, tidak perlu menginjakkan kaki di ruang kelas reyot, tapi mendapatkan segala bentuk perlindungan dan kemewahan yang justru bersumber dari pajak rakyat, termasuk pajak yang dipotong dari penghasilan para guru honorer.

BACA JUGA:KEMUNAFIKAN DAN WAJAH GANDA DALAM POLITIK

BACA JUGA:Premanisme, Geng Motor, Kasus Pelecehan Anak Hingga Narkoba, Lantas Siapa Yang Butuh Polisi?

Pertanyaan moral yang mendesak adalah, apakah keadilan itu masih hidup di republik ini? Jika kontribusi terhadap bangsa dijadikan tolak ukur, maka guru honorer jauh lebih layak untuk disejahterakan. Mereka mendidik, membentuk karakter generasi, menjaga agar mimpi-mimpi anak bangsa tidak padam. Mereka adalah fondasi peradaban. Sedangkan sebagian birokrat hanya menjadi perpanjangan tangan kebijakan yang timpang, dan para oligarki justru menjadi aktor utama dari ketimpangan sosial dan ekonomi nasional.

Realitas ini adalah bentuk ketelanjangan moral sebuah bangsa. Negara seharusnya berpihak kepada yang lemah, yang berjuang di garda depan pembangunan manusia. Namun dalam praktiknya, negara lebih sering memanjakan yang kuat dan melupakan yang mengabdi. Lembaga-lembaga negara disusun untuk menjamin kenyamanan birokrat dan elite, bukan untuk melindungi para guru yang menjadi ujung tombak pencerdasan bangsa. Setiap tahun, anggaran pendidikan digelontorkan triliunan rupiah, tapi sebagian besar menguap di meja birokrasi, tidak pernah benar-benar menyentuh kehidupan para guru honorer.

Ketimpangan kesejahteraan ini bukan sekadar persoalan anggaran, melainkan perwujudan ideologi yang menyimpang dari semangat konstitusi. Republik ini dibangun atas dasar bahwa setiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak. Maka ketika seorang guru honorer harus mengajar sambil mengojek atau berjualan pulsa demi menyambung hidup, sementara seorang pejabat tidur nyenyak di rumah dinas mewah dengan gaji puluhan juta, maka yang sedang terjadi adalah penghinaan terhadap nilai-nilai keadilan sosial.

Membiarkan guru honorer hidup dalam ketidakpastian adalah bentuk kekerasan struktural. Mereka tidak diberi pilihan lain selain menerima keadaan atau berhenti mengajar. Negara tidak hanya gagal mengangkat mereka secara status, tetapi juga gagal mengangkat derajat profesi guru secara keseluruhan. Ironisnya, dalam setiap seremoni Hari Guru, pejabat negara sibuk berpidato tentang jasa guru, sementara kenyataannya, kesejahteraan guru tetap menjadi utopia.

BACA JUGA:MOMENTUM TAHUN BARU ISLAM 1 MUHARAM 1447 H

BACA JUGA:PERAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN & PENGEMBANGAN HARTA BENDA WAKAF

Oleh karena itu, sudah waktunya kita menggugat Republik ini, siapa sebenarnya yang lebih layak hidup sejahtera? Mereka yang mengabdi dengan tulus dan ikhlas, atau mereka yang memelihara sistem koruptif dan eksploitatif? Guru honorer tidak meminta kemewahan. Mereka hanya menuntut keadilan, upah yang layak, status yang pasti, dan penghargaan atas kerja keras mereka membangun masa depan bangsa.

Kategori :