Menyelamatkan Muara Jelitik

Menyelamatkan Muara Jelitik

Muara Jelitik--Foto: ist

Aspek penting lainnya adalah ketidakterlibatan masyarakat nelayan dalam pengambilan keputusan yang berdampak langsung pada ruang hidup mereka. Dalam dokumen Menyelamatkan Muara Jelitik, disebutkan bahwa masyarakat pesisir tidak dilibatkan dalam proses pengerukan muara, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi. 

Padahal, Pasal 60 UU PPLH menjamin hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dan menyuarakan keberatan atas setiap kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan. Ketimpangan ini memperkuat ketidakadilan ekologis, di mana kelompok rentan seperti nelayan tidak memiliki posisi tawar dalam sistem pengambilan keputusan publik.

Dampak Ekonomi dan Disrupsi Infrastruktur Perikanan

Pendangkalan muara berdampak langsung terhadap keberlangsungan ekonomi nelayan dan kinerja logistik pelabuhan perikanan. Berdasarkan laporan lapangan, saat ini kapal-kapal nelayan kesulitan keluar dan masuk saat air surut, menyebabkan waktu tunggu tinggi, potensi kerusakan kapal, serta menurunnya mutu hasil tangkapan. Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Sungailiat yang menjadi simpul utama distribusi perikanan regional juga mengalami penurunan aktivitas akibat ketergantungan terhadap alur muara yang tidak lagi layak pakai. Hal ini mengganggu rantai dingin (cold chain), meningkatkan kehilangan pascapanen, serta menurunkan daya saing hasil laut Bangka Belitung di pasar domestik maupun ekspor.

Peran CSR yang Tidak Dapat Menggantikan Regulasi

Keterlibatan PT Timah melalui CSR untuk pengerukan muara memang menunjukkan inisiatif sosial dari sektor korporasi. Namun, CSR tidak dapat menggantikan kewajiban regulatif seperti AMDAL, izin lingkungan, dan konsultasi publik. CSR adalah bentuk tanggung jawab etis, bukan mekanisme legal formal. Jika pemerintah menggunakan skema CSR untuk menghindari prosedur hukum, maka praktik tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk pengabaian kewajiban negara dalam menegakkan hukum dan melindungi lingkungan serta masyarakat.

Permasalahan yang terjadi di Muara Jelitik dan Muara Air Kantung, Kabupaten Bangka, merupakan cerminan dari krisis tata kelola wilayah pesisir di Indonesia yang kompleks dan multidimensional. Permukaan masalah tampak sebagai persoalan teknis berupa pendangkalan muara akibat sedimentasi yang tinggi. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, akar persoalannya terletak pada ketidaksinkronan regulasi, lemahnya implementasi hukum, serta minimnya koordinasi antar pemangku kepentingan di tingkat pusat maupun daerah.

BACA JUGA:PERAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN & PENGEMBANGAN HARTA BENDA WAKAF

BACA JUGA:Pulau Tujuh Bukan Sekadar Gugusan Karang, Dukung Langkah Gubernur Babel ke Mahkamah Konstitusi

Pengerukan yang dilakukan oleh PT Timah Tbk melalui mekanisme Corporate Social Responsibility (CSR), tanpa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), menunjukkan pengabaian terhadap prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan lingkungan hidup. 

Ketidakterlibatan masyarakat pesisir dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan tersebut juga mencerminkan ketimpangan struktural dalam distribusi kuasa dan informasi. Hal ini tidak hanya mengancam kelestarian lingkungan laut, tetapi juga merugikan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat nelayan, yang sangat bergantung pada akses laut yang aman dan berkelanjutan.

Kondisi ini juga memperlihatkan disrupsi terhadap fungsi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Sungailiat sebagai simpul logistik sektor perikanan nasional. Jika tidak segera dibenahi, krisis ini berpotensi mengganggu ketahanan pangan laut daerah, memperparah kemiskinan pesisir, serta menurunkan daya saing hasil laut Indonesia.

Rekomendasi

1. Penguatan Kepatuhan Regulasi:

Setiap kegiatan pemanfaatan ruang laut harus mengikuti prosedur legal seperti AMDAL, PKKPR/PKKPRL, dan izin kerja keruk, sesuai dengan ketentuan UU Kelautan dan UU Lingkungan Hidup.

2. Reformulasi Skema CSR:

CSR tidak boleh digunakan sebagai substitusi regulasi. Kegiatan dalam skema CSR tetap wajib memenuhi seluruh ketentuan hukum dan pengawasan lingkungan.

3. Penyelarasan Rencana Tata Ruang:

Harmonisasi antara RZWP3K, RTRW daerah, dan wilayah kerja pelabuhan harus dilakukan untuk menghindari konflik zonasi dankewenangan.

4. Pelibatan Masyarakat:

Pemerintah wajib menjamin partisipasi bermakna masyarakat pesisir dalam setiap proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang berdampak pada lingkungan hidup mereka.

5. Penyusunan Roadmap Teknis:

Diperlukan roadmap penanganan muara berbasis kajian ilmiah (hidro-oseanografi, sosial-ekonomi, hukum) yang menjadi acuan lintas sektor secara terintegrasi dan berkelanjutan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: