Diamnya Rendra Basri, Sebuah Teguran untuk Golkar Bangka

Rendra Basri --Foto: ist
BACA JUGA:Pilkada dan Hikmah Kurban: Antara Idealisme Rakyat dan Mahar yang Menggiurkan
BACA JUGA:Rebutan Rekom, Turun ke Warga, Tapi Tukang Pasang Baleho yang Panen Duluan, haaa...
Kaderisasi yang Hilang Arah
Jika kita merujuk pada literatur partai politik modern (Panebianco, 1988; Katz & Mair, 1995), partai akan kehilangan daya dukung massanya jika gagal membangun organizational legitimacy. Salah satu indikatornya adalah menghilangnya figur-figur moral dari proses pengambilan keputusan politik.
Dalam konteks Golkar Bangka, absennya tokoh seperti Rendra Basri dari proses Moment politik lokal dapat dibaca sebagai sinyal bahwa legitimasi internal partai mengalami erosi. Ia tidak bicara bukan karena tak peduli, tetapi karena tahu, suara waras sering tidak terdengar di tengah kegaduhan ambisi.
Apalagi dalam kontestasi Pilkada Ulang 2025, banyak aktor baru yang justru didorong bukan karena kapasitas, tetapi karena kedekatan struktural atau kekuatan modal. Hal ini sangat kontras dengan model kaderisasi klasik Golkar, yang membentuk tokoh dari proses panjang, dari bawah, dengan uji lapangan, dan loyalitas organisasi yang konsisten.
Diam Bukan Menyerah, Tapi Menyentil
Rendra Basri, dalam diamnya, mungkin justru sedang memberi contoh paling nyata tentang makna berpolitik secara beretika. Dalam perspektif moral politik (berdasarkan pemikiran Hannah Arendt), politik seharusnya adalah panggung untuk kebenaran dan tanggung jawab publik. Bila panggung itu sudah berubah menjadi arena pencitraan tanpa integritas, maka memilih keluar adalah sikap yang paling jujur.
Diamnya Rendra Basri adalah cermin. Bukan hanya untuk kader Golkar, tapi juga untuk semua politisi lokal: bahwa suara paling lantang kadang datang dari mereka yang memilih tidak ikut ribut.
Dalam sejarah panjang partai, selalu ada satu dua tokoh yang memilih menjaga nilai dari belakang layar. Mereka mungkin tidak disebut dalam berita, tapi keputusan mereka mempengaruhi arah gerak banyak orang. Rendra Basri, dalam konteks ini, bukan sedang hilang. Ia sedang memberi pelajaran: bahwa politik bukan soal siapa yang tampil, tapi siapa yang bertahan dengan etika.
BACA JUGA:Golkar Bangka: Rasionalitas Politik dalam Gelombang Mahar dan Manuver Pilkada
BACA JUGA:TPP TUNJANGAN PENYELAMAT PEREKONOMIAN ASN
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: