Penggalian Nilai-Nilai Universal Agama untuk Tegakkan Moralitas Serta Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Nilai-nilai universal agama menjadi salah satu sumber moralitas tertinggi dan utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal itu ditegaskan dalam diskusi kelompok terpumpun (FGD) yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bertema Kerapuhan--Foto: ist
Selain itu ditambah dengan orientasi budaya “shame culture”, sistem kekerabatan keluarga luas (extended kinship system), ketergantungan anak pada orang tua dalam pola tempat tinggal serta sistem komunal “Big Man” (penghambaan terhadap salah satu tokoh keluarga). Semua ini jika dibawa pada ranah kenegaraan menciptakan kepatuhan buta.
Hal ini berbeda dengan pola asuh masyarakat Barat dengan piramida terbalik yang melakukan pembatasan dan pengajaran secara ketat saat anak pada usia dini dan mandiri saat dewasa sehingga anak tumbuh dengan tanggung jawab dan menempatkan hak orang lain diatas haknya karena menyadari bahwa setiap individu memiliki kesamaan hak.
Jika dikorelasikan antara akar pola asuh yang membentuk perilaku niretika dan kehidupan masyarakat luas, khususnya para penyelenggara negara juga ketiadaan tauladan dari penyelenggara negara maka menjadi bola panas yang semakin memperburuk situasi kerapuhan etika di seluruh elemen anak bangsa.
“Situasi kurang sensitivitas banyak dilakukan oleh penyelenggara negara,” ujar Zuly Qodir, Guru Besar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Contoh lainnya, digitalisasi telah menciptakan masyarakat baru (netizen) kerap kali menggunakan media sosial dengan tidak bijak dengan menyebarkan ujaran kebencian, hoaks, dan lain sebagainya.
Mereka juga cenderung tidak kritis dan tidak melakukan filterisasi terhadap berita dan informasi sehingga menjadi komunitas yang memperburuk sistem bernegara yang beretika. Padahal citizen Indonesia di lain pihak mempromosikan sikap toleran seperti imam besar Masjid Istiqlal yang mencium kepala Paus Fransiskus saat berkunjung ke masjid Istiqlal, Jakarta. Di sisi lain netizen justru menyebarkan berita hoaks yang sungguh keji dan mencederai agama.
“Ini ada masalah pada media sosial. Di kalangan netizen, saya melihat banyak pikiran busuk. (Tapi) Ini masalah netizen, bukan masalah citizen. Kelihatannya citizen tidak bermasalah besar,” ujar Moch Qasim Mathar, Guru Besar UIN Alauddin Makassar.
BACA JUGA:TAP MPRS Dicabut, Bung Karno Tidak Terbukti Mendukung PKI
BACA JUGA:Konsul RI Tawau Lakukan Kunjungan Hormat ke Ahli Dewan Undangan Negeri Sabah YB Datuk Nizam
Di sisi lain, paradoks keagamaan sendiri juga memiliki banyak problematika. Di antaranya paradoks Ketuhanan yang Maha Esa yang bersifat mandatory monotheism yang memformalisasi kepercayaan dan mengklaster kepercayaan menjadi sebuah agama tertentu sehingga memaksa keseragaman dalam beragama.
Selain itu juga paradoks harmoni beragama yang tidak tercipta karena adanya pembatasan hak umat oleh negara karena faktor keamanan dan ketenangan di masyarakat. Selain itu, terjadi juga pengkelasan dan favoritisasi dalam kehidupan beragama di Indonesia sehingga menyebabkan segregasi sosial yang berdampak baik di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Paradoks yang terakhir adalah paradoks ketidakselarasan antara agama dengan perilaku niretika masyarakat beragama yang ternyata berbanding terbalik dengan praktik sarat etika pada negara yang justru sekuler.
“Paradoks negara beragama dan berketuhanan, ada korelasi yang sepertinya negatif antara kesejahteraan, kebahagiaan, serta korupsi dengan keyakinan tentang pentingnya agama,” ujar Ahmad Najib Burhani, Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Di tengah segala problematika tersebut, yang paling destruktif adalah budaya Machiavelisme yang mengacu pada pandangan bahwa penguasa harus mengutamakan efektivitas dan pragmatisme daripada etika dan moralitas sehingga menggunakan segala macam cara untuk mendapatkan kekuasaan dan menabrak sendi-sendi moralitas.
Contoh jenis Machiavelisme yaitu praktik korupsi, tidak adil, krisis moralitas, politisasi agama, erosi kepercayaan publik, rendahnya pengendalian diri, budaya transaksional dan rendahnya tanggung jawab.
“Ini satu penyakit dalam politik dan mengacu pada seseorang atau kelompok orang yang bersifat manipulatif, tidak etis, dan instrumental dalam hubungan antar pribadi. Jadi yang penting adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan,” tukas Budhy Munawar Rachman, pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: