MEGAWATI DIANTARA PRABOWO DAN JOKOWI

MEGAWATI DIANTARA PRABOWO DAN JOKOWI

Saifuddin --Foto: ist

Oleh : Saifuddin

Direktur Eksekutif LKiS

Penulis Buku ; Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi, Catatan Cacat-an Demokrasi

___________________________________________

 

 

Pemilu telah usai, KPU pun telah mengumumkan pemenang pilpres setelah melalui proses sengketa di Mahkamah Konstitusi. Paslon 02 Prabowo Gibran dinyatakan sebagai pemenang Pilpres tahun 2024 dengan perolehan suara 58 %, sementara paslon 01 Anies Baswedan-Muhaimin iskandar dengan perolehan suara 24 %, sedangkan paslon 03 Ganjar-Mahfud dengan perolehan suara 16%. Situasi politikpun kembali berubah—ucapan selamat kepada Prabowo dari berbagai pihak termasuk dari ketua partai politik dinilai sebagai manuver politik. 

 

Pasca pengumuman Pilpres, Prabowo sebagai pemenang lalu melakukan manuver dengan ajang silaturahmi dengan berbagai pihak termasuk kepada ketua-ketua partai politik seperti 2 hari setelah pengumuman Prabowo pun menemui Megawati Soekarnoputeri di Teuku umar rumah kediaman Megawati. Kunjungan ini bukan semata silaturahmi, tetapi Prabowo mwlkukan dua hal penting yaitu (1) memanfaatkan kebuntuan hubungan dan komunikasi Jokowi dengan Megawati. (2) Prabowo tentu akan memilih posisi Megawati sebagai ketua PDIP sebagai pemenang pemilu 2024, sebab bagi Prabowo kalau PDIP tidak diajak berkomunikasi juga sangat berbahaya bagi program-program kerja dan janji politik Prabowo kedepan. 

 

Terlihat dengan jelas bagaimana pernyataan-pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang lebih menyentil dan menyerang Jokowi dan dinastinya. Pernyataan tersebut sebagai penanda bahwa Jokowi sudah menjadi common enemy di tubuh PDIP. Penghianatan Jokowi kepada PDIP menjadi asbab tertutupnya komunikasi politik antara Jokowi dengan Megawati dan PDIP. Dan situasi demikian itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh Prabowo untuk membangun komunikasi politik. Berbagai spekulasi muncul dipermukaan setelah bertemunya kedua petinggi partai politik antara PDIP dengan Gerindra.

 

Begitu pula dengan Surya Paloh yang kemudian memberikan ucapan selamat kepada Prabowo yang kemudian di kantor tower Nasdem, Prabowo diterima oleh Surya Paloh dengan jajaran pengurus Nasdem. Pertemuan ini kemudian semakin menciptakan spekulasi yang semakin tinggi tensinya---sebab pertemuan ini dianggap sebagai cara Surya Paloh meninggalkan Anies Baswedan dikoalisi perubahan. Tetapi kubu AMIN menanggapinya sebagai hal yang biasa dalam politik. Desas desus pun mewarnai jagat politik tanah air, terutama langkah-langkah bidak Prabowo. 

 

BACA JUGA:OBITUARI DEMOKRASI DI MAHKAMAH KONSTITUSI

 

BACA JUGA:PILWAKO DAN ENTERPRENUER BERKEMAJUAN

 

Karena itu, langkah politik Prabowo justru akan mengkwatirkan posisi Jokowi sebagai sosok yang telah memenangkan Prabowo di pilpres 2024. Kekwatiran itu sangat didasari oleh Jokowi yang tidak punya partai setelah tidak dianggap lagi sebagai kader PDIP tentu akan membuat sedikit kehilangan power politiknya dan kemungkinan akan mengalami post power syndrome. Berikutnya Gibran sendiri akan mengalami pelemahan di sisi Prabowo dengan asumsi tidak akan mungkin harus ada dua matahari, apalagi Gibran juga sudah nukan lagi kader PDIP. Posisi ini bagi Jokow dan Gibran akan semakin menyulitkan setelah selesai masa jabatannya. 

 

Sebab itu langkah politik Prabowo bukan untuk mencegah adanya oposisi, tetapi lebih kearah konsolidasi nasional untuk secara bersama –sama membangun Indonesia kedepan. Sekalipun wacana konsolidasi mengemuka dari Prabowo, tetapi Jokowi tetap gusar dengan semua manuver politik Prabowo. Termasuk dengan merapatnya Nasdem dan PKB ke pemerintahan Prabowo---jangan Jokowi mulai kuatir, Partai Demokrat dan Gelora mulai mencak-mencak terhadap koalisi perubahan yang kemungkinannya merapat ke kubu pemenang Pilpres yakni Prabowo-Gibran. 

 

Dalam kalkulasi politik terkait perolehan kursi di parlemen, tentu Prabowo punya hitungan secara matematis untuk menjadi mitra koalisi besar dalam menuntaskan janji-janji politiknya. Gelora yang menjadi bagian dari koalisi Indonesia Maju (KIM) dibawah kendali Gerindra dengan keras menolak PKS menjadi bagian dari koalisi pemerintahan Prabowo. Politik move on yang ditengarai dari Fahri Hamzah terhadap PKS partai yang pernah mendudukkanya sebagai anggota parlemen 2014-2019 yang lalu, dan juga sebagai pengkritik pedas Jokowi kini menjadi bagian dari koalisi Prabowo-Gibran. 

 

PKB dan Nasdem yang memang tidak punya DNA Oposisi dan Prabowo memganggap kedua partai ini memperoleh suara yang cukup signifikan di koalisi perubahan tentu sangat diharapkan menjadi bagian dari pemerintahan Prabowo-Gibran, justru Demokrat yang harus kehilangan sepuluh kursi diparlemen, dan Gelora yang sama sekali tidak mendapatkan kursi diparlemen juga pada akhirnya Prabowo harus mengkalkulasi ulang kemungkinan kalau PKB, Nasdem, PKS, PPP, Hanura dan PDIP menjadi oposisi tentu sangat sulit bagi Prabowo untuk mewujudkan janji-janji politiknya. Karena sudah dipastikan suara oposisi jauh lebih besar dibandingkan suara pemenang pilpres seperti Gerindra, Golkar, PAN dan Demokrat. Bagi Prabowo ini ancaman kalau kemudian akan terbentuk koalisi permanen. 

 

BACA JUGA:MENUJU OTORITARIANISME

 

BACA JUGA:SURAT CINTA DARI ISTANA, & MASA DEPAN DEMOKRASI

 

Karena itu langkah politik Prabowo sudah semakin tepat---apakah membiarkan rivalitas politiknya menjadi oposisi, ataukah merangkulnya demi tujuan politiknya kedepan. Begitu pula dengan Megawati beliau lebih memilih Prabowo dibanding dengan Jokowi---Prabowo adalah presiden terpilih 2024 tentu akan menjadi mitra sekaligus sharing partner dalam politik Indonesia, sementara Jokowi di mata Megawati bukan lagi siapa-siapa, bahkan sudah tidak dianggap lagi sebagai kader PDIP. Pilihan Megawati bukan hanya karena kekalahan calon usungan PDIP di pilpres kemarin, tetapi lebih kepada “rasa menghianati” secara politik kepada PDIP. 

 

(Mungkin) saja kebencian itu memuncak setelah Jokowi dianggap terlibat dalam berbagai aksi-aksi politik menjelang pemilu 2024. Belum lagi cara Jokowi membangun dinasti politik, mempreteli konstitusi dan melakukan upaya abuse of power sebagai langkah merusak tatanan berdemokrasi. Kondisi ini kemudian menyebabkan posisi Jokowi menjadi tersudut dari berbagai pihak bahkan petisi dari guru besar, demo mahasiswa, amicus curiae semua itu sebagai penanda kalau Jokowi sedang memanfaatkan kekuasaannya demi tujuan politiknya jangka panjang. Dan itulah yang ditolak oleh beberapa pihak.

 

Tiba pada kesimpulan, bahwa Prabowo akan memilih Megawati sebagai cara untuk meninggalkan Jokowi, dan Megawati memilih Prabowo sebagai langkah untuk membunuh Jokowi secara politik. (*)

 

BACA JUGA:KEJUJURAN PEMILU DALAM SENGKETA

 

BACA JUGA:DILEMATIK ANTARA WAJIB DAN TIDAKNYA EKSTRAKURIKULER PRAMUKA

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: