OBITUARI DEMOKRASI DI MAHKAMAH KONSTITUSI
Saifuddin --Foto: ist
Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS (Lembaga Kaji Isu-Isu Strategis)
Penulis Buku ; Politik Tanpa Identitas (2017), Obituari Demokrasi (2019), Elegi Demokrasi (2023), Catatan Cacat-an Demokrasi (2024)
_______________________________________
Usia demokrasi tentu tidaklah muda seiring dengan perkembangan ummat manusia, sejak dari kehidupan para filsuf di Yunani klasik. Diskursus tentang demokrasi sudah menjadi perbincangan diberbagai forum atau academos-academos saat itu. Dari awal sudah muncul paradoks tentang demokrasi, seperti Socrates sekitar tahun 355 SM sudah getol membincangkan tentang demokrasi---walau beberapa dekade berikutnya justru ia membantahnya dengan satu analogi kalau demokrasi itu adalah perihal suara terbanyak (majority vote).
Analogi yang disampaikan Socrates adalah ; “ketika ditengah samudera yang luas, nahkoda kapal tiba-tiba meninggal. Dan harus ada penggantinya untuk melanjutkan pelayaran. Karena berpedoman pada suara terbanyak, maka dipilihlah satu diantara yang lain (apakah ABK atau penumpang) dalam kapal. Maka diputuskanlah satu diantaranya, namun yang diputuskan adalah seseorang yang tidak memiliki kemampuan dan skill sama sekali tentang kenahkodaan”. Resikonya adalah kapal bisa saja karam atau tenggelam ditengah samudera. Itulah cara Socrates mengkritik pikiran tentang demokrasi.
Soal Majorirty Vote disisi yang lain memiliki nilai baik, ketika suara terbanyak itu memiliki kekuatan suara terhadap orang yang dipilihnya dengan memandang aspek-aspek kapabilitas, integritas serta independensi dalam menjalankan tugasnya. Disisi berikutnya suara terbanyak juga memiliki sisi buruk---demi kroni, kolega maka rentan terjadi persekongkolan dalam politik untuk menunjuk seseorang yang mungkin “bisa melindungi atau diajak berkompromi” dalam kejahatan politik. Seperti politik sandera yang saat ini dipraktekkan dalam perjalanan demokrasi di Indonesia.
BACA JUGA:PILWAKO DAN ENTERPRENUER BERKEMAJUAN
BACA JUGA:MENUJU OTORITARIANISME
Dalam sejarah politik Indonesia memang tidak mudah untuk sampai pada demokrasi substansial. Jauh sebelum kemerdekaan tahun 1945, sistem feodalisme menjadi fenomena dalam tata dan sistem pemerintahan karena dipengaruhi oleh budaya dan kepemimpjan raja-raja di nusantara. Perjalanan berikutnya, Indonesia memasuki berbagai tekanan politik dari kolonialisme, sehingga perangkat dalam sistem bernegara pun mengalami perubahan, seperti wacana presiden seumur hidup, perombakan kabinet, hingga pada akhirnya memasuki demokrasi Pancasila.
Sebagai tuntutan konstitusional dalam demokrasi, maka proses politik pun digelar melalui proses pemilihan umum. Proses pemilu dari masa orde lama, orde baru, orde refromasi hingga saat ini tentu memiliki perbedaan yang signifikan. Mulai perubahan undang-undang tentang pemilihan, amandemen UUD 1945, hingga perubahan dalam menentukan sistem pemilu dalam hal perolehan suara. Perubahan undang-undang dalam negara kesatuan RI tentu dimaksudkan kesesuaian dengan kondisi dan perkembangan masyarakat dengan memandang berbagai variabel pendukungnya. Perubahan undang-undang Pemilu misalnya dimaksudkan untuk penataan pola kepemiluan yang lebih demokratis, jujur, adil dan transparan.
Obituari Demokrasi “Pengumuman kematiannya”
Makna obituari biasanya selalu disematkan kepada seseorang bangsawan yang meninggal dunia, jejak kehidupannya hingga pada pemakamannya. Diumumkan agar khalayak tahu tentang kebangsawanannya. Tetapi kali ini penulis tidak sedang menyematkan pada pemakaman seseorang, tetapi tulisan ini terkhusus tentang demokrasi yang akhir-akhir di bonsai (dipangkas), bahkan sedang dalam ancaman pembunuhan.
BACA JUGA:SURAT CINTA DARI ISTANA, & MASA DEPAN DEMOKRASI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: