BENTENG PENUTUK DI PULAU LEPAR (Bagian Satu)

BENTENG PENUTUK DI PULAU LEPAR  (Bagian Satu)

--

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

PULAU Lepar terletak pada posisi di sebelah Timur Distrik Toboali Pulau Bangka yang disatukan dengan Selat Lepar. Panjang dan lebar pulau Lepar kira kira 10 paal. 

--------------------

TOPINIMI atau sejarah penamaan Lepar berasal dari kata “Lepa” yang dalam bahasa Melayu berarti perahu atau kapal. Misalnya ada istilah “melepa” yaitu mendaratkan atau melabuhkan kapal atau perahu ke darat, biasanya untuk berbagai keperluan, seperti memperbaiki kapal, mencari sumber pangan dan air bersih. Wilayah tempat melepa atau melabuhkan kapal atau perahu biasanya dilakukan pada satu tanjung atau teluk yang aman dan terlindung. Misalnya di Pulau Lepar terdapat satu tanjung yang sering digunakan untuk melepa atau melabuhkan kapal atau perahu yang kemudian diberi nama Tanjung Labuh (sekarang Tanjung Labu). Pulau Lepar dalam peta Plan Du Detroit De Banca, sumber dari Bibliotheque National de France sering disebut dengan Isle de Sel yang berarti pulau Garam (Salt Island). 

BACA JUGA:Sejarah Perkembangan Agama Protestan di Pulau Bangka

Penduduk utama Pulau Lepar adalah Orang Darat atau Orang Gunung dengan kehidupan pokoknya berladang dan berume serta berburu dan meramu yang dipimpin oleh seorang batin atau kepala rakyat. Selanjutnya karena banyak pulau pulau kecil di sekitar pulau Lepar dan pulau Bangka, maka wilayah laut atau bahari kepulauan Lepar dihuni oleh Orang Laut yang disebut orang Sekak atau dalam catatan Residen Inggris untuk Palembang dan Bangka, M.H. Court disebutnya dengan Orang Lepar (Court, 1821:192-194). Di samping keberadaan orang Sekak di Pulau Lepar, berdasarkan catatan H. M. Lange, orang Sekah (Sekak) atau orang Laut, kebanyakan hidup di Teluk Kelabat, dan di sekitar Kurau (Lange, 1850:61).  Sementara itu beberapa catatan orang Belanda menyatakan, bahwa orang Sekak hidup di pulau Lepar yang berdekatan dengan ujung Selatan pulau Bangka (Ecoma Verstege, 1876:201; Sevenhoven, 1867:86). Jadi sebenarnya yang dimaksudkan oleh residen Inggris M.H. Court, orang laut yang tinggal di selat Lepar dengan orang Lepar adalah orang laut pribumi yang dikenal dengan sebutan Orang Sekak. Orang Laut atau orang Sekak hidup berkelompok atau bergerombol di atas 4 sampai 10 perahu, mereka menyebut perahunya dengan sebutan “perau lipat kajang”, sedangkan menurut Prof. A.B Lapian, perahu orang Sekak disebut dengan perahu “gobang” (Lapian, 2009:88). Orang Sekak juga memiliki pemimpin dalam tatanan kehidupan masyarakatnya, mereka menggunakan julukan Batin, sama seperti julukan bagi pemimpin Orang Darat (Horsfield, 1848:323-33). Pengetahuan orang Laut dalam memahami kondisi dan keadaan lingkungan laut di Kepulauan Bangka Belitung diperoleh berdasarkan pengetahuan dan kearifan lokal sebagai pengembara laut (sea dweller) berabad-abad silam. Merekalah yang menguasai perairan Kepulauan Bangka Belitung termasuk memberikan nama nama pulau dan selat-selat di kawasan Kepulauan Bangka Belitung, seperti selat Gelasa (Gaspar straits), yang terdiri dari selat Lepar, Selat Lepila (Macclesfield Strait), selat Baur (Stolze Strait) selat Limindo (Clements strait). 

BACA JUGA:Sejarah Perkembangan Agama Katolik di Pulau Bangka

Pulau Lepar merupakan pulau penting dan sangat diperhatikan pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, terutama pada masa Sultan Muhammad Bahauddin (masa pemerintahan Tahun 1776-1803 Masehi) yang menggantikan Sultan Ahmad Najamuddin I Adikesumo (masa pemerintahan Tahun 1757-1776 Masehi). Sultan Muhammad Bahauddin, karena luasnya wilayah pulau Bangka dan dalam rangka pengamanan parit-parit penambangan Timah dan pangkal-pangkal tempat kedudukan demang sebagai sumber utama kekayaan Kesultanan Palembang Darussalam dari serangan Bajak laut dan serangan dari Kesultanan Johor dan Lingga yang sewaktu-waktu datang mengancam, maka Sultan Muhammad Bahauddin, membagi wilayah pemerintahan di pulau Bangka atas Dua wilayah yaitu wilayah bagian Utara dan Barat pulau Bangka dan wilayah bagian Selatan pulau Bangka termasuk pulau Lepar, pulau Liat/pulau Leat dan pulau Belitung. Sultan Muhammad Bahauddin  menetapkan wilayah bagian Utara dan Barat pulau Bangka berpusat di Mentok dengan batas ke Timur sampai sungai Kampak dan batas ke arah Selatan sampai ke Tempilang (benteng Tempilang). Wilayah Utara dan Barat pulau Bangka dikuasakan oleh Sultan Palembang kepada Abang Ismail bergelar Tumenggung Kertamenggala (menggantikan Abang Pahang Tumenggung Ditamenggala). Selanjutnya ditetapkan wilayah yang terletak di bagian Selatan pulau Bangka berpusat di Pangkal Toboali dengan wilayah yang cukup luas, termasuk kepulauan Lepar dan pulau Belitung. Wilayah Selatan pulau Bangka dikuasakan kepada Pangeran Adiwijaya saudara Sultan Muhammad Bahauddin atau putera dari Sultan Susuhunan Ahmad Najamuddin I Adikesumo. 

BACA JUGA:Sejarah Hubungan Antar Etnik di Bangka (Bagian Satu)

Wilayah bagian Selatan pulau Bangka termasuk pulau Lepar, pulau Liat/pulau Leat dan pulau Belitung dalam perjalanan sejarahnya, menjadi daerah yang sering menjadi sasaran perampasan oleh bajak laut karena sangat kaya akan kandungan biji Timah. Berdasarkan catatan sejarah dan Algemeen Verslag Der Residentie Banka Over Het Jaar 1850, bundel Bangka No.41, sekitar Tahun 1792 Masehi, pulau Bangka mengalami masa yang sulit karena merajalelanya perampokan terhadap pangkal-pangkal pusat penambangan Timah milik kesultanan yang dilakukan oleh perompak laut yang menamakan diri “Rayad” dari Siak dan juga mengganasnya para perampok yang menamakan dirinya dengan sebutan Lanun (Elvian, 2016:81). Rayad atau Rakyat adalah suku laut atau orang laut yang mendiami Siak. Dalam hubungan dengan kerajaan Riau dan Johor, suku laut ini dikenal pula dengan nama “Rakyat” bersama suku-suku lainnya. Untuk membedakan mereka dari rakyat lainnya mereka juga disebut Rakyat Laut. Dalam kedudukan rakyat sultan, mereka tidak dikenakan pajak perorangan, tetapi diwajibkan memberi jasa sebagai pengayuh perahu kerajaan, menyediakan perahu jika diperlukan oleh penguasa dan sebagainya (Lapian, 2009:79). Pada Tahun 1767 Masehi, Raja Ismail dari Siak (masa pemerintahan Tahun 1760-1761 Masehi, kemudian terusir dan dipaksa turun oleh VOC) dengan didukung oleh orang Laut terus mendominasi kawasan pantai Timur Sumatera, dengan mulai mengontrol perdagangan Timah di pulau Bangka. Laporan Belanda menyebutkan Palembang telah membayar sebesar 3000 ringgit kepada raja Ismail agar jalur pelayarannya aman dari gangguan (Barnard, T.P, 2001:331-342). 

BACA JUGA:Gunong Muntai (Mountain)

Daerah-daerah di pulau Bangka seperti Kepo, Ulin, Nyireh dan Bangkakota serta pulau Lepar tidak luput dari perampokan dan penjarahan. Dengan pengecualian Toboali, dimana kubu atau benteng pertahanan kemudian telah buru-buru dibangun dekat semua wilayah sungai di sepanjang pantai Barat dan Selatan, terutama yang dari Banko-Kutto, Selan dan Kappu, kubu atau benteng diberikan tempat tinggal dan keamanan untuk menghadapi Lanons (Horsfield, 1848:317). Bajak laut yang menamakan diri Lanun membangun Pangkalan di sisi Utara sungai Kepo yang disebut dengan Benteng Mulut, sebelum menyerang dan merampas kawasan di pesisir Barat pulau Bangka dan kawasan di pesisir Timur pulau Bangka termasuk pulau Lepar, bahkan mereka menjarah ke wilayah Paku di pedalaman pulau Bangka. Rakyat Bangka yang ketakutan karena serangan bajak laut banyak yang lari ke wilayah pesisir Timur Bagian Tengah pulau Bangka ke wilayah Teru, Pangkul dan sampai ke Pangkalpinang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: