Sejarah Perkembangan Agama Katolik di Pulau Bangka
Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan- FOTO: Ilust babelpos.id-
Oleh:Dato’ Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
SEJARAH Gereja Pangkalpinang berawal dari mulai berkaryanya seorang tabib (shinse) Tionghoa yang beragama Katolik di Sungaiselan yang bernama Tsen On Ngie (Zeng Aner) yang lahir di Cina pada tahun 1795.
Pada Tahun 1830 Tsen On Ngie datang ke Sungaiselan dari Penang Malaysia. Sejak Tahun 1849 Tsen On Ngie mulai bekerja sebagai seorang tabib (shinse) dan berkeliling di Pulau Bangka mengobati orang-orang sakit, terutama pekerja tambang Timah orang Tionghoa yang bekerja di parit penambangan Timah. Banyak buruh-buruh tambang tertarik akan keteladanan Tsen On Ngie dan kemudian belajar agama Katolik. Komunitas pemeluk agama Katolikpun terbentuk di Sungaiselan di bawah bimbingan Tsen On Ngie. Pada tahun 1849 pastor Claessens dari Batavia mengunjungi Sungaiselan dan mengkatolikkan 50 orang yang telah dididik dan dipersiapkan oleh Tsen On Ngie. Pada tahun 1853 Pastor Langenhoff dibenum untuk tugas di Sungaiselan dan Tsen On Ngie mendampingi beliau sebagai katekis (guru agama). Wilayah pelayanan pastor Langenhoff meliputi Bangka, Belitung, Palembang dan Riau dan malah berkembang sampai ke Kalimantan Barat.
Pusat misi gereja Katolik di Bangka yang berawal di Sungaiselan, pada tahun 1853 di pindahkan ke Sambong (sekitar 8 km dari Pangkalpinang), dan kemudian pada tahun 1913 dipindahkan ke Pangkalpinang, seiring pemindahan ibukota keresidenan Bangka dari Mentok ke Pangkalpinang. Sebelum menjadi pusat misi gereja Katolik, Pangkalpinang sejak tahun 1863 merupakan Stasi dari Sungaiselan dan mempunyai sebuah Kapel yang bernama Santo Yoseph. Sekitar tahun 1885 karena tak ada pastor yang menetap di Bangka, maka Kapel Santo Yoseph yang terletak di sisi Timur Kelenteng Kwan Tie Miau tak terawat dan tanah tempat Kapelpun dijual ke THHK. Sejak Tahun 1925 umat Katolik di Pangkalpinang dilayani dari Sambong dan misa diadakan sebulan sekali dengan memakai salah satu ruangan di Pengadilan Negeri pada waktu itu. Pada bulan Oktober 1928 Mgr Bouma ss.cc membeli sebidang tanah yang terletak di Jalan Jagal Pangkalpinang dan beliau mulai mendirikan beberapa bangunan untuk keperluan pusat karya gereja dan pada bulan Mei 1931 para pastor pindah dari Sambong ke Pangkalpinang di Kapel sementara yang diberkati pada tanggal 24 Mei (letaknya sekarang di kompleks SD Budi Mulia). Pada tahun 1934 ditugaskan Pastor di Pangkalpinang bernama Pater Bakker ss.cc, sebagai pastor pertama, Ia mulai membuka sebuah sekolah untuk anak putra. Pada bulan April 1934 bruder-bruder Budi Mulia yang pertama datang di Bangka dan Pater Bakker ss.cc menyerahkan pengelolaan sekolah putra kepada bruder-bruder Budi Mulia. Pastor Pater Bakker ss.cc selanjutnya mulai merintis pembukaan sekolah putri, yang kemudian pada bulan Agustus 1938 pengelolaannya diserahkannya kepada suster-suster Pemelihara Ilahi. Pada akhir tahun 1934 tercatat jumlah murid sekolah Bruderan ada 60 orang laki-laki dan sekolah putri Pater Bakker berjumlah 30 orang perempuan.
Pada tanggal 5 Agustus 1934 diberkati gereja baru yang diberi nama pelindung Santo Yoseph (bangunan gereja ini sekarang sudah dibongkar, letaknya di pastoran sekarang). Peristiwa penting terjadi di gereja ini pada tanggal 25 April 1935 ketika ditasbihkan sebagai Imam seorang putera Bangka yaitu Pastor Johannes Boen Thiam Kiat. Pastor Boen ini adalah Pastor Projo pertama di Keuskupan Pangkalpinang dan juga Pastor Projo pertama Indonesia. (Nama Pastor Boen kemudian diabadikan di Balai Pertemuan Paroki Pangkalpinang dengan nama Balai Mario Jhon Boen).
Pada tahun 1934 pemerintah Belanda menjadikan Pangkalpinang pusat perawatan orang tua/jompo bekas buruh-buruh tambang timah dari Cina, dan tempat perawatan orang tua lainnya yang tersebar diseluruh Bangka ditutup. Pemerintah Belanda menyerahkan kepada gereja Katolik untuk mengelola tempat ini (letaknya di Jalan Sungaiselan km 3,5) dan bruder-bruder Budi Mulia mulai mengelola tempat ini hingga sekarang dan dikenal dengan nama Longinbuk (rumah bagi orang tua). Pada tahun 1935 para bruder mulai membangun gedung Novisiat (tempat pendidikan calon biarawan/bruder), salah satu bruder pertama yang dididik disini adalah Bruder Angelus Manopo, yang cukup lama berkarya di Bangka, untuk membiaya perawatan orang-orang tua, para bruder Budi Mulia memelihara sapi perah yang susunya dijual kepada masyarakat umum, peternakan sapi perah ini sekitar tahun 1980 ditutup karena dinilai tidak ekonomis lagi.
Pada tahun 1972 Mrg. Bouma ss.cc, pimpinan gereja Katolik Bangka, Belitung dan Riau membeli sebidang tanah dan sebuah rumah kecil di Kampung Jelutung, di atas tanah ini kemudian dibangun susteran dan sekolah, yang sekarang dikenal dengan nama SD/SMP Theresia. Para pastor pindah dari kompleks gereja ke rumah kecil itu yang menjadi pastoran dan rumah uskup (sekarang menjadi kantor bidang Pendidikan Yayasan Tunas Karya), sedangkan pastoran lama di samping gereja di Jalan Jagal menjadi biara suster serta novisiat (sampai tahun 1972).
Perang Dunia II membawa dampak yang sangat buruk bagi perkembangan gereja di Pangkalpinang pada bulan Februari 1942, serdadu Jepang mulai masuk ke Bangka. Pada tanggal 10 April 1942 Mgr. Bouma ss.cc, para Imam dan bruder berkebangsaan Belanda ditahan Jepang dan dimasukkan di kamp tahanan di Pangkalpinang, selanjutnya pada bulan Mei 1944 mereka dipindahkan ke kamp Mentok dan pada bulan Maret 1945 dipindahkan ke Belalau, Lubuk Linggau. Untuk perawatan umat Katolik di Pangkalpinang dan Bangka Belitung dilakukan oleh Pastor Boen dan Bruder Angelus Manopo dan ini berlangsung sampai takluknya Jepang dan kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945. Pimpinan gereja Katolik Bangka, Belitung dan Riau, Mgr. Bouma ss.cc meninggal di kamp tahanan Belalau, Lubuk Linggau pada tanggal 19 April 1945. Dari 11 misionaris yang masuk tahanan hanya 3 yang masih hidup waktu dibebaskan, dan dari 15 bruder Budi Mulia yang ditahan hanya 8 orang yang masih bertahan hidup. Pada awal tahun 1950 tulang belulang para misionaris yang meninggal di kamp tawanan Jepang ini dikumpulkan dan dimakamkan lagi di kompleks bruderan dekat Gereja St. Bernadeth Jalan Bukit Golgota.
Geliat Gereja Katolik dimulai lagi setelah Perang Dunia Kedua. Pada bulan April 1946 para bruder Budi Mulia mulai membuka kembali sekolah-sekolah, demikian pula dengan rumah perawatan orang tua mulai diurus kembali. Untuk menggantikan Mgr. Bouma yang meninggal, diangkatlah Pastor Van Soest ss.cc (Prefek Apostolik), yang tiba di Bangka pada tanggal 30 November 1946, dan pada tanggal 8 Februari 1951 Prefektur Apostolik Bangka, Belitung dan Riau diubah statusnya menjadi Vikariat pada tanggal 20 Mei 1951 dan Mrg Van Der Westen ss.cc ditahbiskan sebagai Uskup di Pangkalpinang, upacara berlangsung meriah di Pendopo SD Budi Mulia. Pada tanggal 3 Januari 1961 didirikan Hirarki Gereja Katolik di Indonesia, Vikariat Apostolik Pangkalpinang diubah statusnya menjadi Keuskupan Pangkalpinang dan Mgr Gabriel Van Der Westen ss.cc diangkat menjadi Uskup pertama Pangkalpinang. Peresmian Mrg Van Der Westen ss.cc menjadi Uskup Pangkalpinang dilakukan di Kathedral Santo Yosep pada tanggal 17 September 1961. Wilayah Keuskupan Pangkalpinang meliputi Pulau Bangka, Belitung dan Kepulauan Riau. Mgr Van Der Westen ss.cc menjadi Uskup Keuskupan Pangkalpinang sampai awal Tahub 1979 dan karena kesehatannya terganggu, beliau mengundurkan diri kepada Sri Paus, Mgr Van Der Westen kembali ke negeri Belanda pada bulan Maret 1979 dan Sri Paus kemudian mengangkat Pastor Rudolf Reichenbach ss.cc, sebagai Administrator Apostolik (pejabat sementara pimpinan gereja setempat). Mrg Rudolf Reichenbach ss.cc menjabat Administrator Apostolik sampai ditunjuknya uskup baru Pangkalpinang. Pada bulan Mei 1987 Sri Paus menunjuk Mgr Hilarius Moa Nurak Svd sebagai uskup Pangkalpinang yang baru dan upacara pentasbihannya dilakukan di Pangkalpinang pada tanggal 2 Agustus 1987.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: