Gandeng BPDPKS, BRIN Siapkan Aplikasi untuk Petani Sawit Babel Lebih Merdeka dan Sejahtera
Sosialisasi aplikasi manajemen kelapa sawit dari BRIN kepada perwakilan petani sawit Babel.--Agus
BABELPOS.ID, PANGKALPINANG – Dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kemandirian petani sawit rakyat melalui peningkatan peran petani dalam rantai pasok industri sawit, Pusat Riset Agroindustri - BRIN atas dukungan BPDPKS menggelar workshop “Aplikasi Pengolahan Buah Sawit Menjadi CPO untuk Peningkatan Daya Tawar Petani Sawit Mandiri di Sentra Sawit Rakyat” bagi petani sawit di Bangka Belitung, Rabu (21/6/2023).
Sosialisasi yang dilaksanakan di Fox Haris Hotel Pangkalpinang ini dibuka secara resmi oleh Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Puji Lestari. Turut hadir Plh Sekda Babel Sunardi dan 25 petani sawit swadaya dari perwakilan petani di sentra perkebunan sawit di Provinsi Bangka Belitung.
BACA JUGA:Pj Gubernur Suganda: Jangan Sampai Sawit Jadi Penyebab Inflasi
Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Puji Lestari menyanpaikan bahwa kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan di Indonesia yang saat ini menjadi salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia. Luas perkebunan Indonesia sekitar 16,38 juta ha. Terdiri dari Perkebunan kelapa sawit, perkebunan swasta (55%), petani swadaya (41%) dan perkebunan pemerintah (4%).
Berkembangnya perkebunan sawit rakyat ini, kata Puji, turut membantu meningkatkan perekonomian masyarakat setempat, serta mengurangi pengangguran di daerah sekitarnya. Namun peran petani menurutnya masih termarginalkan karena produktivitas kebun rendah, tata kelola kebun yang belum baik, ditambah dengan persoalan logistik pasca panen, serta pungutan-pungutan yang diterapkan terhadap penjualan tandan buah segar (TBS), dan adanya pedagang perantara.
“Kita ketahui bersama, produksi buah sawit petani (TBS – tandan buah segar sawit) masih menggantungkan penjualan buahnya pada penerimaan/pembelian oleh pabrik kelapa sawit (PKS) perkebunan besar yang juga telah memiliki kebun sendiri dan kebun yang terikat milik masyarakat sekitar atau plasma. Sehingga TBS dari kebun rakyat hanya menjadi penyangga jika buah produksi kebun sendiri dari perkebunan besar tidak mencukupi,” ungkap Puji.
Selain itu, diakui Puji, persoalan lain yang dihadapi para petani ialah kendala rantai pasok panjang, waktu tunggu TBS untuk diterima pabrik tidak tentu, budi daya dan pasca panen tidak baik menjadikan kualitas buah rendah. Disisi lain, kata dia, buah yang dihasilkan petani berkontribusi terhadap kualitas CPO yang rendah dari tingginya kandungan asam lemak bebas (ALB) akibat pasokan TBS dari perkebunan rakyat melebihi ambang waktu olah 24 jam setelah petik.
“Makanya buah sawit (TBS) harus dengan cepat diolah setelah petik untuk memperoleh kualitas CPO yang baik, sebaiknya sebelum berumur 24 jam. Melebihi waktu ini TBS akan terdegradasi dan membusuk,” kata Puji.
BACA JUGA:Juni Bursa Sawit Meluncur, Harga Tak Diatur Malaysia Lagi
Meski jumlahnya signifikan, menurut Puji, petani sawit mandiri masih menjadi aktor terlemah dalam industri perkebunan kelapa sawit. Salah satu kendalanya alur rantai pasok CPO yang terbilang panjang. Setelah panen di kebun, petani biasanya menjual TBS ke tengkulak. Setelahnya, tengkulak akan membawa TBS ke pengumpul atau ramp untuk ditimbang dan dijual. Baru kemudian pengumpul memasok TBS tersebut ke PKS.
“Jadi selama ini petani sawit mandiri yang menjual sawit ke perusahaan dianggap ‘pihak ketiga’. Kondisi tersebut membuat posisi petani sawit mandiri lebih lemah karena harga dan persyaratan kelayakan TBS ditentukan oleh perusahaan, bukan mengacu pada peraturan pemerintah. Petani sawit mandiri yang terletak di kawasan jauh dari pabrik kelapa sawit (PKS), pada umumnya memiliki permasalahan dalam menjual buahnya karena permasalahan umur simpan buah,” beber Puji.
BACA JUGA:Ini 2000 Lowongan Khusus SMA/SMK Saja, Beasiswa Sawit dari Kementan
Karena itu, dikatakan Puji, pendekatan yang baik untuk mengatasi masalah petani sawit tersebut adalah pengolahan TBS sesegera mungkin agar kualitas minyak yang dihasikan bisa terkendali. Untuk itu, petani sawit harus berpartisipasi mengolah TBS di lokasi tidak jauh dari kebunnya. Terlebih lagi petani sawit menjadi mandiri. Namun biaya investasi pembangun pabrik kelapa sawit dengan kapasitas besar atau setidaknya 30 ton per jam dan pengoraginasasian merupakan kendala utama bagi petani sawit rakyat, kelompok tani dan/atau koperasi untuk membangun PKS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: