Presidential Threshold 20% Memperkuat atau Memperburuk Sistem Pemilu?

Presidential Threshold 20% Memperkuat atau Memperburuk Sistem Pemilu?

Aldi Christian Tarigan--

Oleh: Aldy Christian Tarigan

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

BABELPOS.ID - Pasal 222 Undang undang Nomor 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) menyebutkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan Partai Politik yang memperoleh 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Presidential Threshold ini adalah pengaturan tingkat ambang batas dukungan dari DPR, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara (ballot) atau jumlah perolehan kursi (seat) yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu agar dapat mencalonkan Presiden dari partai politik tersebut atau dengan gabungan partai politik lain.

Gagasan demokrasi yang tertanam dan terbangun di Indonesia dalam lanskap pemilihan umum yang mana kedaulatan berada di tangan rakyat. Sejauh perjalanan tiga dekade reformasi masih menimbulkan sejumlah problematika. Ambang batas pencalonan presiden kian dinormalisasi sebagai syarat bagi bakal calon pasangan Presiden dan Wakil Presiden untuk berkontestasi dalam pemilihan umum menyisakan sejumlah inefisiensi yang patut di sayangkan.

Ambang batas pencalonan presiden mungkin akan tercatat dalam sejarah sebagai aturan dalam Undang-Undang yang paling sering di gugat pada Mahkamah Konstitusi (MK) dan mungkin akan menjadi aturan yang paling di pertahankan dengan keras oleh MK. Dari sekian banyak percobaan gugatan dan uji materi yang di ajukan pada Mahkamah Konstitusi (MK) tidak satupun yang berhasil menggoyahkan ketentuan Presidential Threshould tersebut.

Hingga saat ini dengan merujuk pada rekapitulasi perkara di website Mahkamah Konstitusi, Presidential threshold sudah diuji sebanyak 37 kali. Dalam lima tahun terakhir saja terdapat 22 perkara yang sudahh di putuskan oleh Mahkamah Konstitusi terkait Presidential Threshold. Banyaknya permohonan yang diajukan tersebut sejatinya merupakan bukti kongkrit bahwasannya penerapan system Presidential Threshold bermasalah.

Dari sudut pandang konstitusi yang ada di Indonesia, dengan merujuk pada UUD 1945, yakni pasal 6A ayat (2), secara eksplisit mengatur bahwa mengusulkan calon presiden dan wakil presiden merupakan hak konstitusional partai politik tanpa adanya tambahan mengenai ambang batas yang diterapkan dan dicantumkan pada pasal tersebut.

Yang menjadi pertanyaan kita semua adalah Mengapa ketentuan Presidential Threshold begitu dipertahankan hingga sekarang? Salah satu penjelasan yang masuk akal adalah berkat fiksi yang tertanam dalam pemikiran pemikiran pembuat aturan termasuk MK itu sendiri. Mereka berasumsi Presidential Threshold tersebut dipercaya mampu memperkuat sistem presidensial yang ada di negara ini. Pendapat mereka sering kali mengatakan bahwa dukungan partai di tahap pencalonan kelak akan menjadi modal kuat untuk legitimasi presiden di hadapan para parlemen yang kemudia presiden memerintah secara efektif. Namun kenyataannya Presidential Threshold juga tidak sesuai dengan system presidensil yang telah dibuat dan dianut Indonesia. Sebab, presiden mendapatkan mandat langsung dari rakyat karena di pilih melalui pemilu, sehingga legitimasi Presiden tidak perlu diamankan karena pada sistemnya presiden dipilih oleh rakyat dan mendapatkan mandat dari rakyat, sehingga cabang kekuasaan legeslatif dan yudikatif tidak dapat mengusik pencalonan dan system kerja presiden karena bentuk tanggung jawab presiden adalah pada rakyat jika berpacu pada system presidensil di Indonesia, bukan bertanggung jawab pada parlemen. Sehingga alasan legitimasi presiden dianggap kurang tepat dalam hal mempertahakan presidential threshold.

Namun dari pada itu tentu saja pemikiran ini berhasil melindungi presidential threshold selama 18 tahun belakangan semenjak diperkenalkan dalam pemilihan presiden langsung pada tahun 2004 dan berhasil mengaburkan realitas yang terjadi. Jarang disadari selama 18 tahun aturan Presidential Threshold ini ada, telah menutup banyak keplasuan dan system yang rusak dalam Pemilihan Pemilihan Presiden selama ini. Realitas yang selama ini disembunyikan adalah bahwasanya Presidntial Threshold adalah senjata segelintir orang untuk mempertahankan kepakan sayapnya dalam kekuasaan di negeri ini. Realitas yang paling terlihat adalah bobroknya sistem koalisi pendukung presiden, yang memunculkan pembagian pembagian kekuasaan eksekutif. Artinya dukungan partai partai yang berkoalisi terhadap calon presiden dan wakil presiden untuk memenuhi aturan threshold presidential adalah episode awal dari membagi bagi kekuasaan dalam pemerintahan eksekutif yang bisa berlanjut hingga sesuai masa jabatan presiden.

Pada prinsipnya ketentuan Presidential Threshold ini sangat melanggar dan mempersempit dari pada hak hak konstitusi setiap warga negara yang dapat memilih calon pemimpin kedepannya, dimana masyarakat hanya bisa memilih calon calon yang telah dipilih dengan alasan aturan Presidential threshold ini. Seharusnya masyarakat dapat diberikan banyak pilihan terkait calon calon pemimpin yang ada, namun dengan adanya presidential threshold ini realitasnya membatasi calon pemimpin yang dapat dipilih masyarakat umum. Hal ini melanggar hak hak konstitusi Masyarakat tersebut. Ketentuan atau aturan Presidential Threshold ini dapat mempengaruhi masa depan demokrasi serta makin menjebloskan negara ini pada lubang oligarki yang lebih dalam.

Selain melanggar hak hak konstitusional masyarakat tentu saja Presidential Threshold ini sangat membatasi hak hak demokrasi dan konstitusional dari sebuah partai politik terutama partai politik yang baru. Karena partai yang tidak memenuhi ambang batas tersebut harus membentuk koalisi dengan partai partai besar yang lain sehingga partai kecil tersebut dianggap tak mempunyai hak suara untuk mengirimkan calon pemimpin dari mereka.

Selain dari pada itu Presidential Threshold sangat tidak sesuai dengan konsep multi partai yang dianggap tidak sederhana yang sangat bertentangan dengan ambang batas pencalonan Presiden. Hal ini akan menjadikan konsep multi partai di Indonesia tidak berguna dan hanya pemanis dalam demokrasi tanpa adanya peran penting dalam Pemilihan presiden

Sementara pada konstitusi, syarat keterpilihan presiden sangatlah liminatif, yakni memperoleh suara di atas 50% dan setidaknya 20% lebih dari setengah provinsi di Indonesia. Artinya, jika Presidential Threshold dihapuskan lebih dari 3 calon presiden, serta kemungkinan terbesarnya adalah pilpres menggunakan pemutaran ulang. Jika calon ada 8, maka setidaknya akan ada 3-4 kali putaran. Ini akan mengakibatkan pembengkakan anggaran serta partisipatif masyarakat kian menurun karena dianggap rumit dan demokrasi kemungkinan gagal mencapai partisipasi ideal. Karena itu perbaikan PT harus disertai dengan beberapa perbaikan sistem secara komperhensif dan holostik. Jika penghapusan Presidential Threshold tak diiringi pembaruan sistem maka dampak buruh dari penghapusan Presidential Threshold tidak dapat dibendung dan akan menjadi masalah masalah baru juga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: